Penyematan klausul baik-buruk seseorang biasanya dikaitkan dengan lembaga pendidikan formal maupun tidak formal tidaklah terlalu salah, karena lembaga pendidikan di masjid, surau, mushollah, sekolah atau kampus difungsikan untuk perbaikan (lil ishlah). Di sana peserta didik diasah dan diasuh seorang guru yang didedikasikan untuk mengukir melakukan perbaikan karakter. Sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan untuk memilah dan memilih guru, baik untuk diri sendiri maupun orang terdekat kita. Kiranya sangat penting melakukan seleksi sebelum terlanjur memuji, karena guru amat penting eksistensinya dalam kehidupan ini, tidak sekedar mengajar tetapi juga mendidik. Perbedaan pengajaran dan pendidikan kiranya sudah tidak diperdebatkan lagi, bahwa keduanya sangat berbeda, mendidik lebih pada membentuk karakter, sedang mengajar titik tekannya pada transformasi pengetahuan.
Mula-mula seorang guru haruslah baik karakternya, Ibn Athoillah as-Sakandari membuat analogi guru bagaikan dokter (al mursyiid ka at-thabib) ia memahami tindakan yang harus dilakukan untuk mengobati ‘penyakit’ muridnya, sedangkan murid bagaikan mayit (al muriid ka al-mayyit) yang taat bukan karena keterpaksaan tetapi sebuah kebutuhan. Boleh jadi salah diagnosa berimplikasi salah resep dan obatnya, seorang guru yang tak pandai memahami latar belakang kekurangan muridnya, boleh jadi nasehatnya tidak mengobati justru menyakiti.
Guru sejati adalah ia yang menjadi teladan bagi peserta didiknya, meminjam unen-unen jawa guru itu digugu yo ditiru (di dengar dan diteladani) ia menjadi penuntun sekaligus temannya laksana Rasul dan Sahabatnya, layaknya Plato mengidolakan Socrates, hingga karya-karyanya diwarnai karakter Socrates, karena itu guru tidak hanya sekedar menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) melainkan juga punya visi dan misi memberi teladan dan membangun karakter peserta didiknya. Dalam hal ini, KH. Dewantoro mengatakan sebuah falsafah jawa “ing ngarso sang tulodho ing madyo mangun karso tut wuri handayani”, pendek kata, ketiak di depan menjadi teladan ketika di belakang suply semangat, sejalan dengan al Qur’an: “Laqad kana fi rasulillahi uswatun hasanah”, artinya: “sesungguhnya di dalam diri Rasul adalah teladan yang baik”.
Titel uswah kenabian dalam al Quran hanya diberikan kepada dua nabi, yakni Ibrahim as (Qs. Al-Mumtahanah:4) dan kepada Rasul saw (Qs. Al-Ahzab:21), keduanya layak diteladani sejak kecil. keduanya juga terabadikan dalam bacaan shalawat dalam tasyahud akhir setiap sholat, atau lebih dikenal shalawat ibrahimiy. KH. Asrori al-Ishaqiy dalam sebuah majlisnya menjelaskan bahwa seseorang belajar kepada guru bukan semata-mata mencari kepintaran melainkan inign mengikuti tindak lampahnya. Karenanya tak banyak yang bisa diharapkan seorang guru yang memiliki karakter buruk.
Karakter buruk yang melekat terkadang tidak disadari, justru menjadikan personal guru sebagai sosok yangmemuakkan, ucapannya memerahkan telinga, ia berkata namun dalam hati peserta didiknya dari A-Z ditolak mentah mentah, tak pernah menilai dari sisi usaha yang ia dambakan hanya hasil semata, lebih parah lagi semua kata-katanya diilhami semata mata ingin menyindir sana sini tak jelas arah bicaranya, ngelantur bak kesurupan atau seperti orang mabuk makan kecubung. Ke-gemas-an melihat ulah yang demikian mugkin kadang membangkit diri untuk melayangkan PALU.
Tak jarang pula guru yang berkarater buruk, punya sifat pilih kasih, sering membanggakan diri dibumbui dengan sifat sombong dan meremehkan peserta didiknya. Memberi nasehat tak lain hanya sebatas melampiaskan dendam kesumat yang tak terbalaskan, menelanjangi kekurangan muridnya di hadapan publik pelajar lain supaya ditertawakan dan direndahkan, ia merasa bahwa kata-katanya menyentuh hati padahal hanya mengundang gelak tawa bagai komedian tak beriklan. Terlebih lagi yangmenggelikan hati adalah merasa dirinya dibutuhkan kehadirannya, padahal tanpa disadari ulahnya banyak menyisakan luka, nasehatnya memerahkan telinga, kelincahan olah katanya bak orator yang tak kebagian panggung. Guru yang demikian, jelas dia sedang kalap dan lupa bahwa antara yang diajari dan yang mengajari keduanya harus berttanggung jawab di hadapan Allah yang maha Adil.
Amat tersiksa menjadi guru yang tak diminati apalagi dibenci karena karakter buruk yang melekat dalam dirinya, karakter buruk yang menumpuk dan mengkristal ini akan mengantarkan dirinya menuju diskualifikasi sosial dari ranah pendidikan, ia tidak lulus menjadi penuntun apalagi teladan. Karakter bagi setiap orang bagaikan kompas, dengannya seseorang menjadi tahu peta yang harus diperbuat, termasuk guru harus punya kepekaan nurani, dalam agama yahudi merujuk pada Petrus: 3:16 yang menyatakan “pertahankanlah hati nurani yang baik”. Hati nurani bagaikan kompas dalam hidup ini
Pelaut mampu mengarungi samudra luas, petualang mampu melintasi padang belantara tak berpenghuni, sang pilot menerbangkan pesawatnya di atas lapisan-lapisan awan di angkasa, mereka akan mengalami kesulitan yang sama seandainya tidak memiliki kompas. Demikianlah pentingnya hati nurani termasuk sebagai guru. Dalam agama Yahudi, nurani adalah sebuah pemberian berharga dari Yehuwa untuk kita (Yakobus 1:17). Tanpa hati nurani, kita akan benar-benar kehilangan arah.
Terlepas apapun agamanya yang pasti sifat ‘bijaksana’ seorang pendidik sangat diperlukan, disitulah kita butuh selektif memilah dan memilih guru yang berkarakter, sebelum menyoal pendidikan berkarakter. Pendidikan karakter seperti yang digaungkan Menteri Pendidikan Muhammad Nuh tentu bukan sebatas pengetahuan rasio saja, tetapi justru pendidikan yang berbasis pada hati nurani. Yang disentuh bukan hanya kepekaan rasionya melainkan kepekaan hatinya. Maka mendidiknya juga dengan hati dan bukan hanya dengan rasio semata. Makanya memilihkan guru memahami filosofi mendidik, yang berbasis pengasahan kepekaan hati nurani, menjadi sebuah kemestian yang tak terbantahkan. Guru dalam makna yang luas adalah termasuk dosen. Apapun gelarnya yang disandangnya.
No comments:
Post a Comment
Terimakash Atas kunjungan dan komentarnya ( salam persahabatan )