terbit, 19-12-2015 |
Pesta demokrasi pilkada yang menjadi hajatan besar bangsa ini sudah sepekan berlalu, kita patut bersyukur karena berjalan aman dan lancar, meski ada beberapa daerah yang masih berseteru, namun kiranya masih dalam batas yang wajar. Momentum ini sangat berarti sebagai langkah awal sebuah pemerintahan daerah dimulai, pilkada yang dilakukan serentak tersebut berdasarkan Undang undang No. 8 Tahun 2015 yang tentang perubahan undang undang sebelumnya, semua tentu berharap menghasilkan pemimpin yang sungguh-sungguh memperjuangkan rakyatnya, bukan kepentingan pribadi atau keluarganya.
Figur pemimpin menurut Plato adalah penggerak utama roda pemerintahan. Ia mengangkangi semua bentuk kebijakan dari hilir hingga hulu, dimana rmuara besarnya adalah negara. Pasca pemilukada sembari menunggu hasil rekap dan ketetapan, marilah kita pergunakan untuk mencari alat ukur kriteria pemimpin ideal di daerah masing-masing, tulisan pendek ini hendak memotret kriteria pemimpin ideal menurut pemikiran al Farabi, sang filosof paripatetik yang bertengger di papan atas dalam jajaran pemikir Islam.
Biografi al-Farabi
Al Farabi (w.950 M) yang punya nama asli Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad al-Farabi adalah filosof muslim yang namanya menggaung di seluruh dunia hingga ke daratan Eropa, ia terkenal sebagai the second master setelah Aristoteles, penguasaannya terhadap 70 bahasa mengantar dirinya sebagai pemikir yang tak lekang di makan zaman, bahkan hingga kini terus mengilhami pemikiran-pemikiran modern dalam bidang filsafat, pendidikan dan politik. Ia berhasil membuat rumusan negara ideal yang disebut sebagai Negara Utama (ahl Madinah al fadhilah) yang ia tuangkan dalam sebuah buku ‘ara ahl madinah al fadhilah hingga saat ini masih menjadi rujukan pemikir modern.
Baginya negara yang baik adalah negara yang bisa berdikari mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya secara mapan di segala bidang, dari segi sandang, pangan, papan, pendidikan dan keamanan serta mampu menyelesaikan problem lainnya seperti seperti kemacetan, kebanjiran dan memajukan pendidikan yang notabene-nya menjadi basis kemajuan sebuah daerah. Mengingat tujuan bernegara tidak lain adalah untuk mencapai kebahagiaan secara bersama-sama. Untuk menciptakan kebahagiaan tersebut kehadiran pemimpin yang mumpuni sangat dibutuhkan, ia adalah penggerak utama, kurang lebih demikianlah yang digagas al Farabi dalam konsepnya yang dikenal dengan istilah Negara Utama (al-madinah al-fadhilah), dalam lingkup yang kecil adalah pemerintah daerah yang pemilihannya telah berlangsung sepekan yang lalu.
Pemilihan pemimpin yang dilakukan serentak seperti yang telah diundang-undangkan dan dipilih oleh semua warga yang telah memenuhi syarat atau lebih lazim disebut demokrasi, sejatinya merupakan sistem paling tepat, elegan, partisipatoris, demokratis dan akomodatif, namun bukan berarti sistem tersebut kebal kritik. Kita ambil contoh sederhana, semua warga baik kelas intelektual menengah maupun atas, baik yang paham peta politik maupun yang buta ranah politik, sama sama mempunyai hak satu suara rasanya kurang pas, dan tentu pilihan sangat dipengaruhi oleh bobot pemilihnya
Penulis lebih condong dengan prinsip al Farabi, yang merekomendasikan keputusan --termasuk memutuskan pilihan – tidak kepada satu orang saja atau seluruh warga negara, tetapi dipilih sejumlah orang tertentu yang kapasitas pengetahuannya merepresentasika aspirasi semua rakyat. Sekali lagi, kita bisa bayangkan bagaimana seseorang yang buta peta politik dan tidak tahu menahu kecakapan kontestan, dibebani untuk menentukan seorang pemimpin yang mengurusi semua persoalan pemerintah daerah, sama halnya dengan menyerahkan urusan kepada orang yang tidak ahlinya..
Bila hal ini terus dipertahankan, maka tidak menutup kemungkinan melahirkan pemimpin yang track record buruknya jelas, minim kapasitas, jauh dari kapabilitas, hanya bermodal selebritas dan popularitas melenggang bebas ke kursi ‘panas’ penguasa. Padahal, prasyarat menjadi pemimpin ideal amat berat.
Al Farabi membuat kriteria pemimpin sangat ketat dan perfeksionis, paling tidak ada dua belas kriteria pemimpin ideal yang harus dipenuhi, penulis merangkumnya menjadi toga bagian besar dari dua belas yang disyaratkan oleh Farabi dalam memahami kriteria pemimpin,
Pertama, sifat yang melekat dalam diri pemimpin antara lain, seorang pemimpin harus sehat fisik maupun mental dan sempurna, baik daya pemahamannya agar mampu berkomunikasi dengan baik terhadap semua elemen masyarakat, cerdas, dengan kecerdasan yang ia punya akan menjadikan dirinya ‘deposit ide’ serta inovasi brilian, pandai berdiplomasi sehingga dalam duel syaraf tidak kalah dihadapan bangsa-bangsa lain, atau kabupaten dan wilayah penting lainnya, berpendirian kuat, berjiwa besar dan berbudi luhur, karena ia sebagai suri teladan bagi rakyatnya.
Kedua, berupa larangan larangan yang dilakukan oleh seorang pemimpin, diantaranya; tidak rakus dan menjauhi perbuatan keji, tidak mabuk mabukan dan cinta wanita, tidak memandang kekayaan sebagai kesenangan duniawi. Dengan kriteria ini pemimpin akan selamat dari caci maki publik, karena tak sedikit pemimpin yang terperangkap harta dan cinta wanita hingga mengantarkannya ke jeruji besi. Ketiga, hal hal bersifat karater pendorong, yaitu cinta keadilan, cinta pendidikan dan ikut serta mendidik, cinta kejujuran diikuti membeci kebohongan.
Dua belas kriteria yang penulis rangkum menjadi tiga kelompok besar tersebut, menjadi kriteria ideal untuk menegakkan sebuah negara utama yang bahagia dan sejahtera. Mungkin dalam pengamatan kita, pemimpin seperti kriteria di atas masih jauh sesuai harapan, namun tidak lantas pesimis apalagi patah arang untuk membangun peradaban dan kemajuan bangsa sebagai cita-cita besarnya, paling tidak ada beberapa karakter yang bisa dimanfaatkan sebagai modal pembangunan sebuah pemerintah. Sifat itulah hendaknya kita tonjolkan dan kita pinta secara arif dan bijaksa terhadap pemimpin terpilih nantinya.
Konsep kepemimpinan al Farabi banyak diilhami pemikiran Yunani terutama konsep negara ideal Plato yang membangun pemikiran Negara dengan skema tubuh manusia besar (macro anthropos), manusia besar, suatu gambaran yang mendominasi filsafat politik sepanjang zaman. Pemerintah adalah kepalanya, militer sebagai dadanya dan anggota tubuh lain adalah elemen negara penting lainnya. (M. Hatta: 2011). Bebeda dengan al Farabi yang membuat analogi sebuah pemerintahan bagaikan tubuh, penggerak utamanya adalah hati (qalb), Hati yang dimaksudkan oleh al Farabi tidak lain adalah pemimpin, sedangkan anggota tubuh lainnya adalah elemen masyarakat sebagai pembantu mewujudkan ide-ide nya.
Memang tak mudah untuk mencari pemimpin yang demikian ketak, tetapi bukan berarti tidak ada, bila kita tilik lebih dalam maka banyak masyarakat yang punya kapasitas namun tak mempunyai panggung yang memadai menjadikan sosok ideal menjadi tenggelam. Untuk memunculkannya kembali adalah tanggung jawab bersama bukan perseorangan atau sekedar lipservice iklan belaka. Sebagai penantian hasil resmi instantsi yang berewenanag, tentunya kita tidak berhenti berharap kepada pilkada yang sudah dilakukan itu mampu menelurkan pemimpin berkualitas yang jujur dan berkeadilan, pengetahuan luas, akal yang jernih dan mempunyai kemampuan daya pikir yang kuat. Sebagaimana kriteria pemimpin ideal menurut al Farabi yang telah dipaparkan di atas.*)
No comments:
New comments are not allowed.