Mungkin akan sangat tepat jika dikatakan dengan judul Ahmadiyah di persimpangan jalan terkait dengan beberapa opsi yang berkembang tentang penyelesaian konflik Ahmadiyah di Indonesia diantaranya adalah Ahmadiyah menjadi nama agama tersendiri, menjadi Islam dengan tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dibiarkan saja atau dibubarkan. Adanya perbedaan faham ini sudah lumrah seperti halnya adanya perbedaan antara Al Ghazali dan Ibn Rusyd.
Untuk mencari solusi di atas, maka berbagai elemen masyarakat, tokoh politik, Komisi VIII, dialog-doalog di televisi, berbondong bondong mencari solusi terbaiknya hatta ada beberapa Gubernur yang melarang gerakan sekte Ahmadiyah di daerahnya, Meski saya bukan Ahmadiyah tetapi saya boleh saja berpendapat bahwa hal itu bukanlah menyelesaikan masalah, karena persoalan faham keagamaan adalah persoalan keyakinan, dengan memaksakan orang lain keluar dari keyakinan adalah sebuah pemaksaan. Dalam faham kenegaraan yang saya fahami negara harus memberikan kebebasan beragama selama tidak mengacam persatuan dan kesatuan.
Selain alasan di atas, alasan lain adalah langkah memaksakan keyakianan kepada pemeluk ahmadiyah hanyalah solusi yang bersifat sementara, tentu saja kebijakan ini hanya memuaskan pihak yang kontra dengan Ahmadiyah sedangkan bagi pemeluk ahmadiyah hal ini merupakan pembatasa dan pengebiarian keyakinan beragama di negara Indonesia yang terkenal negara toleran dengan lima Agama yang diakui pemerintah.
Mungkin saja negara memaksa secara adminsitratif Ahmadiyah keluar dari Islam, tapi kemampuan Negara untuk membumi hanguskan keyakinan mereka terhadap Islam (baca: versi Ahmadiyah) tentu tidak akan bisa dengan begitu saja. Saya kira mereka tidak akan mau meninggalkan shalat, puasa atau haji, membaca al-Quran, dan sederet aktifitas keagamaan lainnya. Maka setelah mereka dianggap bukan Islam, puasa dan shalat-nya orang Ahmadiyah bisa dianggap penodaan terhadap Islam. Dengan demikian, ruang untuk melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah akan semakin melebar.
Rumadi pernah menuliskan bahwa, Pakistan, Arab Saudi dan beberapa Negara Islam lain senantiasa dijadikan contoh untuk menyelesaikan kasus Ahmadiyah. Pakistan misalnya, dengan menggunakan dasar konstitusi sebagai Negara Islam, sejak 1974 Ahmadiyah dinyatakan sebagai kelompok minoritas, dan 1984 dinyatakan sebagai non-muslim. Hal yang sering dilupakan, Indonesia bukanlah Negara Islam sebagaimana Pakistan. Konstitusi Indonesia memberi jaminan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan, sedang Pakistan menganut paham yang berbeda. Karena itu, langkah meniru Pakistan dalam persoalan Ahmadiyah jelas bukan pada tempatnya.
Pakistan bukanlah contoh yang baik dalam mengelola kebhinekaan keyakinan. Meski Ahmadiyah sudah dinyatakan sebagai non-muslim, namun persekusi dan tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah tidak pernah berhenti. Kasus besar terakhir terjadi pada 28 Mai 2010 lalu. Dua masjid Ahmadiyah di Model Town dan Garishaw diserang sejumlah orang bersenjata senapan dan granat persis ketika warga Ahmadiyah sedang melakukan shalat Jumat. Serangan itu menewaskan lebih dari 90 warga Ahmadiyah.
Kebijakan Pakistan terhadap Ahmadiyah sangat diksriminatif dari sudut jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan, karena orang Ahmadiyah yang menjalankan ibadah dianggap kriminal, mengucapkan assalamu'laikum warahmatullahi wabarakatuhu dilarang bagi warga Ahmadiyah dan diancam hukuman empat bulan penjara. Apakah kita mau meniru Negara seperti ini?
baca juga blog kami yang berkaitan dengan info blog tentang spiritual learning
No comments:
Post a Comment
Terimakash Atas kunjungan dan komentarnya ( salam persahabatan )