• Sungai

    darinya laut di isi, beraneka bahan yang ia bawa, dari ikan hingga kotoran. Namun laut bersabar menampungnya. Kesabaran laut patut dicontoh.

  • Pagi Buta

    Semburat mentari di ufuk timur, masuk ke sela-sela rimbun dedaunan, ia hendak datang mengabarkan semangat beraktifitas meraih asa dan cita yang masih tersisa.

  • Malam

    Malam gemerlap bertabur bintang, bintang di langit dan di bumi. Mereka membawa cerita masing masing sebelum akhirnya masuk ke peraduan asmara.

  • Gunung

    Gunung yang kokoh, ia dibangun dengan kuasanya, bukan dengan bantuan kita. Manusia hanya bertugas merawatnya dengan baik dan amanah. Bumiku lestari

  • Siang

    Mentarinya menyinari pohon di dunia, keindahannya luar biasa.

Profil Surat Al-Fatihah

Setelah beberapa hari yang lalu diposting tentang Sejarah Mushaf; dari penulisan hingga tanda baca maka untuk melihat kehebatan Alquran kita bisa cermati profil al-Fatihah ini. Surat al-Fatihah adalah merupakan surat pertama dalam urutan mushaf Utsmani. Namun secara perurutan wahyu, al-Fatihah termasuk surat yang turun di era awal-awal diturunkan wahyu. Al-Fatihah termasuk surat makiyah yang diturunkan setelah Nabi mendapatkan perintah shalat pada waktu mi’raj. Wajar, karena dalam shalat bacaan surat Alfatihah merupakan rukun qauliy yang tidak boleh ditinggalkan.   

Dalam kaitannya dengan hukum membaca Fatihah pada waktu shalat, selain hadis yang sudah populer bahwa shalat tanpa fatihah tidak diterima, Al-Mubarakfury mengutip beberapa hadits yang berkaitan dengan hukum membaca al-fatihah dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda. “Barangsiapa yang melaksanakan shalat tanpa membaca surah al-Fatihah maka hal itu seperti bayi yang terlahir prematur (beliau menyatukan hal itu tiga kali). 

Fatihah terdiri dari 141 huruf dengan maaliki, namun apabila dibaca tanpa alif maka jumlah hurufnya 140 huruf. Adapun jumlah tasydid dalam surat al-Fatihah berjumlah 14, tiga dalam basmalah dan selebihnya dalam ayat selanjutnya hingga ayat terakhir. Perkara tasydid ini menjadi sangat penting, karena tasydid merupakan huruf double, sedangkan dalam pembacaan fatihah harus secara lengkap, apabila menghilangkan tasydid berarti tidak membaca fatihah secara sempurna dan ini mengakibatkan tidak sah dalam shalat.

Kewajiban dalam membaca fatihah ada 10 antara lain:

1.        Membaca secara keseluruhan

2.        Membacanya pada saat berdiri.

3.        Tidak mengalihkan makna

4.        Membacanya dapat didengar secara keseluruhan

5.        Dengan bahasa Arab

6.        Menjaga tasydid-nya

7.        Membaca semua huruf

8.        Tidak lahn yang dapat mengubah makna

9.        Terus menerus atau tidak dijedah

10.    Dibaca secara tertib

 

Ada banyak sekali nama surat ini, paling tidak ada dua puluh lebih mengenai nama surat tersebut. Al-Fatihah, Ummul Qur’an, ummul Kitab, Sab’ul Matsani dan masih banyak lagi. salah satunya adalah ummul kitab karena di dalam surat Al-Fatihah mencakup secara garis besar isi Alquran. Secara garis besar Alquran mengandung tiga ajaran pokok dalam beragama, yaitu akidah, syariah dan sejarah, begitulah isi surat Alfatihah ayat 1-4 berisi aqidah, ayat 4 dan 5 berisi syariah sedangkan 6 dan 7 adalah sejarah. Fahruddin Ar-Razi seabgaimana diktuip dalam Itqan fi ‘Ulumil Alquran karya Imam Suyuthi dalam bab keutamaan ayat Alquran berpendapat, Alfatihah menetapkan empat perkara tentang; ketuhanan, hari akhir tempat manusia kembali, kenabian dan penetapan kehendak Allah swt. 

Rasyad Khalifah (w. 1990 M) telah menemukan sebuah perhitungan kemunculan kata kata dalam Alquran yang sangat menakjubkan. hal tersebut dapat dilihat dalam Alquran ditinjau dari perspektif angka. Salah satunya adalah ketika menghitung huruf-huruf dalam basmalah berjumlah 19, ini karena bismillah tidak ditulis dengan alif. Jumalh tersebut bisa habis dibagi dengan probabilitas atau kemunculan kata ism, Alla, ar-Rahman dan ar-Rahim sebagaimana dalam bismillaihirrahmanirrahiim. Ism dalam Alquran terulang 19 kali, sedangkan lafad Allah terulang sebanyak 2698 kalau dibagi 19 menjadi 142. Sedangkan ar-rahman terulang 57 kali, kalau dibagi 19 menjadi 3, sedangkan kata ar-Rahim terulang 114 kali, kalau dibagi 19 akan ktemu angka 6. Sebuah perulangan kata yang sangat dahsyat dan menakjubkan.  

Share:

Sejarah Mushaf; Dari Penulisan Mushaf hingga Tanda Baca

Alquran merupakan sumber ajaran agama Islam yang tertinggi, berisi seperangkat ajaran akidah, syariah dan sejarah. Ia menjadi referensi paling paripurna dan menjadi soko guru keagamaan terpenting di atas hadis Nabi Muhammad saw. Beragam pengertian terkait dengan Alquran, tapi intinya hendak menjelaskan bahwa Alquran adalah wahyu Allah yang dituliskan, sedangkan tulisan Alquran yang dihimpun dalam satu buku dinamakan dengan mushaf. Pengertian Alquran, menurut Imam Al-Jurjani

هُوَ اَلْمُنَزَّلُ عَلَى الرَّسُولِ المَكْتُوبِ فِى الْمَصَاحِفِ اَلْمَنْقُولُ عَنْهُ نَقْلًا مُتَوَاتِرًا بِلَا شُبْهَةٍ

Alquran sendiri mempunyai banyak keistimewaan baik dari segi bahasa seperti diksi, susunan kebahasaan bahkan keunikan tersebut pernah dibuktikan oleh Abd Daim al-Khalil ketika melihat Alquran ditinjau dari perspektif angka, ia menemukan banyak sekali probabilitas yang menakjubkan. Tidak hanya itu masih banyak sekali kemukjizatan Alquran yang sudah maupun belum ditemukan  

Sejarah Perjalanan Penulisan Mushaf Alquran.
Secara global perjalanan penulisan Alquran melewati tiga periode yaitu masa Nabi Muhammad saw yang belum dibukuan, masa Abu Bakar yang berhasil membukukan Alquran atau disebut mushaf dan pada masa Utsman bin Affan ra.

Pada masa Nabi saw tulisan Alquran belum dalam bentuk mushaf masih ada beberapa sahabat yang menulis di pelepah kurma, kulit bahkan berdasarkan sejarah ada juga yang sudah menulis di kertas, namun Alquran terjamin keasliannya karena diawetkan dalam bentuk hafalan para sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. Kemudian beliau wafat pada tahun 11 H.

Kekhalifahan pertama ada ditangan Abu Bakar ash-Shiddiq, pada masa ini banyak peperangan besar yang menewaskan penghafal Alquran seperti perang Yamamah, orang-orang murtad serta fenomena munculnya Nabi-nabi palsu. Maka atas saran Umar bin Khattab untuk membukukan Alquran, dipanggillah juru tulis yang dahulu menuliskan Alquran ketika rasul mendapat wahyu, antara lain;  
Dalam jangka waktu satu tahun, pada tahun 13 H. Alquran berhasil ditulis dalam satu buku yang disebut dengan mushaf. Setelah Abu Bakar wafat kemudian mushaf tersebut dipindah-tangankan ke Umar bin Khattab (13-23 H.) kemudian setelah Umar bin Khatab meninggal, mushaf dijaga oleh Hafsah binti Umar.

Kekhalifahan dipimpin oleh Usman bin Affan (23-35 H.). Pada masa inilah babak baru penulisan mushaf kembali dimulai. Mengingat perkembangan Islam tersebar luas ke berbagai penjuru tidak hanya orang Arab saja yang membaca Alquran, melainkan di luar Arab juga banyak yang membaca Alquran. Hudzaifah al-Yamamah sebagai seorang hakim banyak menjumpai perkara silang sengketa soal bacaan Alquran. Sepulang dari perluasan Islam ke Azerbeijan dan menemukan kasus-kasus tersebut maka mengusulkan kepada Khalifah Usman bin Affan untuk membukukan Alquran. Usul tersebut disetujui, dan mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf untuk diperbanyak. Sebagian ulama berpendapat diperbanyak menjadi lima atau enam kemudian disebarkan ke seluruh kota kota besar untuk diperbanyak, sekaligus memberikan pengumuman bahwa selain mushaf tersebut harus dibakar. Tulisan Mushaf  pada masa kekhalifahan ini masih berupa tulisan tangan dan kosong tanpa tanda baca berupa titik maupun syakalnya.
Pemberian Tanda Baca

Pada perkembangan selanjutnya Pemberian titik dan baris pada mushaf Alquran ini dilakukan dalam tiga fase.

Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan kira-kira tahun 53 H. Saat itu, menugaskan gubernur Irak, kemudian gubernur Irak menunjuk kepada Abdul Aswad ad-Dualy untuk meletakkan tanda baca i'rab (nuqthatul i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.

Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, al-Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik (nuqthatul i’jam), awalnya berupa lingkaran kemudian berkembang berbentuk kubus dan ditulis berwarna untuk, misalnya, huruf baa' dengan satu titik di bawah, huruf ta’ dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, al-Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hayy bin Ya'mar.

Baru kemudian, pada masa Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa damah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah Alquran. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 170 H), seorang enseklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada.

Jadi mereka menjadikan umat Islam saat ini apa pun ras dan sukunya mempunyai Alquran yang sama sesuai dengan sanad yang diterima dari guru-guru mereka. Sehingga memudahkan umat setelahnya untuk membaca Alquran. Sebenarnya kalau direnungkan sebenarnya pembukuan Alquran bukan perintah rasul saw. melainkan inisiatif dari sahabat khulafaur rasyidin dan berlanjut hingga masa tabi'in. Baru kemudian perkembangan selanjutnya adalah ilmu yang membaca Alquran atau tajwid yang baru disusun di akhir abad 3, yaitu Abu Muzahim Al-Khaqani. (lahir 248 H - 325 H).   


Share:

Al-Quar'an Ditinjau Dari Perspektif Angka

 ABSTRAK: Dekade awal turunnya Qur'an setelah wafatnya Nabi saw kira kira abad 2 hijriyah, para mufasir mengira bahwa kemukjizatan Alquran hanya terdapat pada segi bahasa saja, kemudian dengan berkembangnya disiplin tema ulumul Alquran, mereka menemukan beberapa kemukjizatan lain di dalam Alquran, seperti kemukjizatan ‘ilmi, al-ghaibiy, at-tasyrī’iy hingga saat ini ditemukan adanya kemukjizatan alquran dari segi pengulangan kata dalam Alquran yang kemudian disebut dengan i’jaz ar-raqmiy atau i’jaz ‘adadi. Kemukjizatan Alquran dalam perspektif angka tergolong baru dan masih belum mempunyai metodologi baku, meski upaya ini sudah dilakukan sejak masa As-Saqafi dan Khalifah Marwan, kemudian kurun berikutnya dikembangkan oleh Rasad Khalifah, Abdul Razaq Naufal, Abd. Daim al-Kahil dan lain-lain. I’jāz ‘adadi masih perlu dikembangkan lebih sempurna lagi untuk menjadi metodologi baru dalam memahami kandungan isi Alquran.

PENDAHULUAN
Alquran sebagai sumber pokok ajaran Islam memberikan sajian yang mempesona dengan semua kajian keilmuan yang melekat didalamnya, baik dari segi gaya bahasa (uslub),  ketelitian redaksinya maupun hubungan pilihan diksi dengan  probabilitas kemunculan kata tersebut. Dari segi gaya bahasanya, alquran mempunyai gaya bahasa yang paling indah dalam literatur arab yang ada, Al-Khulli menyebutnya al-kitab al-‘arabiyyah al-akbar. Tidak mungkin ditandingi oleh gerombolan ahli sastra arab sekalipun. Segi otentisitas Alquran melalui periwayatan yang ketat, mustahil terjadi kesepakatan untuk berbohong. Argumen yang terkandung didalamnya tak bisa dipatahkan.

Dekade awal turunya Alquran ‘dituduh’ sebagai produk olah pikir Muhammad saw untuk mempengaruhi kaum Quraisy Mekah agar berkenan mengikuti risalah yang dibawanya, namun argumen tersebut terpatahkan oleh Nabi Muhammad saw yang tidak mengenal tulis baca (ummi). Sebenarnya pengakuan Nabi saw bahwa Alquran bersumber dari Allah adalah sudah cukup menjadi bukti, seandainya Muhammad adalah pembohong seperti yang kaum quraisy tuduhkan, mestinya beliau mengaku bahwa Alquran merupakan karyanya, untuk meningkatkan popularitas dirinya.  Bisa saja seseorang membantah sengaja dikatakan sebagai firman Allah agar ditaati dan diikuti, bukankah di dalamnya juga ada ayat-ayat yang ‘mengecam’ beliau?.  Belum lagi terkait dengan ke-ummi-an Nabi Muhammad itu sendiri. Masih sederet bukti lain yang bisa ditunjukkan dalam hal ini.

Sampai abad modern ini –dan abad-abad berikutnya—Alquran tetap kokoh menjadi penuntun kebenaran dan informasi penting bagi kehidupan, salah satu petunjuk Alquran yang mencengangkan adalah akurasi probabilitas kata yang digunakan ternyata mempunyai pertalian makna yang sempurna dengan pengulangan kata tersebut, padahal ayat demi ayat turun secara gradual dalam kurun waktu yang cukup lama, namun setelah dibukukan, ditemukan berbagai keajaiban berupa angka-angka probabilitas kemunculan kata yang mempunyai pertalian dengan makna yang dikandungnya. Tapi tak jarang juga disalahgunakan dan dipaksakan untuk menyikapi kejadian tertentu yang dianggap fenomenal (baca; cocoklogi)

Pernah ada seorang ustadz yang khutbah dengan lantang bahwa runtuhnya gedung WTC tanggal 11 September 2001 terkait erat QS. At-Taubah ayat 109. Tanggal 11 adalah angka surat at-Taubah yang terletak di juz 11, tahun 2001 dikorelasikan dengan jumlah huruf dalam surat at-taubah. Jumlah tingkat di gedung WTC ada 109 dihubungkan sebagai ayatnya. Maka lahirlah kesimpulan serampangan dengan menunjuk kepada QS. at-Taubah: 109.

Tidak hanya itu. Kejadian runtuhnya WTC hanya satu dari sekian fenomena yang dihubungkan dengan ayat Alquran dari perspektif angka. Seperti Tsunami, gempa, jatuhnya pesawat termasuk aksi 212 dan lain sebagainya. Perujukan Alquran semacam ini perlu disikapi dengan tegas dan dikaji, agar tidak lahir tafsir yang serampangan tidak berdasar kajian yang ilmiah dan validitasnya diragukan.

Ketelitian redaksi Alquran memang sangat megagumkan sehingga setiap kata mengandung mukjizat. Termasuk kemukjizatan Alquran dilihat dari perspektif angka-angka dan pengulangan kata-katanya mengandung makna yang mencengangkan yang tak tertandingi oleh karya manusia. Namun benarkah cara-cara di atas adalah bagian dari metode mengungkap sisi kemukjizatan Alquran dalam perspektif angka (i’jāz al-raqmiy atau i’jāz ‘adadi) sebagaimana sudah dilakukan para penggiat kajian Alquran terdahulu. Butuh kajian lebih mendalam dalam hal ini.


Adapun obyek kajian tulisan ini seputar mengungkap temuan-temuan mukjizat Alquran ditinjau dari perspektif angka (i’jāz ‘adadi). Adapun yang akan diulas adalah berkaitan dengan angka 7, 19 dan 11. Untuk lebih fokus terhadap arah penulisan ini, maka dipandang perlu dibuat sebuah rumusan masalah; Apa pengertian i’jaz adadi dan Bagaimana kemu’jizatan angka 7, 19 dan 11 serta korelasi pertalian makna yang dikandungnya?

Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan sumber-sumber terkait dengan mukjizat Alquran perspektif angka dalam kitab al mausu’ah i’jaz ar raqmi karya Abd Daim al Kahil, kemudian al i’jaz ‘adadi lil qur’ani al kariim karya Abdurrozaq Naufal,  serta beberapa karya lain yang berkaitan dengan pokok bahasan tersebut. 

Karena keterbatasan tempat, selanjutnya bisa anda kutip, baca dan download di link berikut: Jurnal Ushuluddin PTIQ: artikel M. Wiyono.

Share:

Potret Vaksin Dalam Rekonstruksi Tawakal

Terbit, 22 Pebruari 2021

Semua bangsa di dunia berjibaku melawan penularan covid-19, beragam jurus dikeluarkan, namun belum ada tanda-tanda turun, justru belakangan ini menunjukkan trend peningkatan tajam, setiap harinya memakan korban puluhan ribu orang. Pendek kata, semua elemen masyarakat dibelahan dunia manapun kesulitan berdamai dengan pandemi, tak terkecuali Indonesia.

Upaya pemerintah menghambat laju penularan covid dibuktikan dengan gencar melakukan sosialisasi protokol kesehatan sudah berlangsung satu tahun, puncaknya adalah ikhtiar pemerintah yang memberikan vaksin gratis kepada semua elemen masyarakat. Meski demikian, sebentuk penolakan terhadap vaksin oleh sebagian kelompok terdengar nyarin di awal-awal sosialisai, meskipun sampai saat ini sudah mulai senyap—tetapi bukan berarti tidak ada. 

Di sisi lain, masyarakat mulai jenuh terhadap situasi dan kondisi ‘terpenjara’ di rumah sendiri, terbukti banyaknya pelanggaran protokol kesehatan, di jalan, perkatoran, pertokohan, tempat hiburan bahkan masih kita jumpai event resepsi yang tetap digelar meskipun sadar bahwa kerumunan massa tak terlekkan.

Pemerintah menghadapi dua masalah sekaligus yaitu masalah eksternal berupa pandemi dan problem internal berupa kejenuhan masyarakatnya untuk tetap sabar dan mengurangi mobilitas di luar rumah. Harus diakui sebagian memang terpaksa harus bekerja di luar rumah.

Kejenuhan tersebut menimbulkan sebentuk ‘putus asa’ seraya berseloroh, hidup mati sudah suratan, orang yang malang melintang di jalanan faktanya sehat-sehat saja. Fakta-fakta seperti ini kerap menjadi papan bantalan masyarakat beragama dalam mengaplikasikan tawakal. Tawakal dimaknai serampangan sebagai sistem penyerahan total tanpa ikhtiar apa-apa. Pasrah yang lebih bersifat nekad dan konyol belaka. Oleh sebab itu, rancang bangun pemikiran tawakal butuh dikonstruksi ulang—minimal diluruskan.

Tawakal disebut berulang kali dalam Alquran, namun perlu digarisbawahi, tawakkal dalam bentuk kata perintah (fi’il amr) tak kurang dari sebelas kali, sepuluh diantaranya selalu didahului dengan tindakan yang bersifat aktif, bukan menyerah dan pasrah tanpa upaya apapun.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi Rasul saw. memberikan gambaran tawakalnya dengan mengambil pelajaran dari upaya seekor burung yang keluar dari sarangnya pagi hari dalam kondisi lapar, kemudian kembali ke sarangnya sore hari dalam kondisi kenyang. Hadis tersebut mengajarkan, untuk memperoleh anugerah harus didahului dengan aktivitas yang bersifat aktif, bukan berpangku tangan sembari mengharap keajaiban dari langit. Begitu pula dengan menghadapi pandemi saat ini, dibutuhkan ikhtiar untuk menghidarkan diri dari massifnya penularan yang terjadi.

Dari sini nampak sekali, sesungguhnya konsep tawakal adalah konsep religi yang dikonstruk sebagai konsep yang aktif, namun tidak sedikit yang karena kekerdilan pengertiannya dan kurang menghayati ajaran agama sehingga konsep tersebut berubah sebaliknya, menjadi konsep yang pasif bahkan cenderung destruktif. Alih-alih mengaku bertawakal, menyerah dengan nihil usaha.

Dalam masa pendemi seperti ini, mengaplikasikan tawakal secara aktif menjadi sangat penting. Hal itu dapat diaplikasikan ke dalam dua cara, Pertama, menyerahkan suratan takdir setelah melakukan upaya keras yang bersifat aktif. Seperti, new normal, PSBB, PPKM, sosialisasi 5M; memakain masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangin mobilitas. Karena hanya inilah langkah satu-satunya yang paling bijak hingga vaksin diberikan, bahkan setelah vaksin diberikan pun protokol kesehatan harus tetap digalakkan. 

Kedua, pengadaan vaksin, bila dikatakan vaksin yang ada adalah bersifat darurat karena terlalu cepat, maka jawabannya adalah ‘iya’. Tetapi dalam kondisi darurat seperti saat ini, bukan tidak beralasan menciptakan vaksin bersifat darurat. Ibarat orang lapar adalah, kondisi saat ini mendekati kelaparan, oleh karena itu tidak perlu menunggu makanan yang benar-benar bergizi, tetapi cukup untuk menjaga kelangsungan hidup adalag prioritas pertama, kira-kira itulah eksistensi vaksin yang ada pada saat ini. 

Kita tentu heran dengan pola pikir sebagian orang di masa pandemi seperti saat ini, sudah terpantau dengan mudah di Indonesia tiap harinya ribuan orang yang terpapar covid tapi pelanggaran protokol kesehatan sampai penolakan vaksin masih saja terdengar, nampaknya mereka hanya percaya dengan apa yang ia mau percaya sesuka hatinya. Salah dan benar, fakta dan fiktif hanya menjadi tumpukan berita belaka, tidak mampu mengubah ideologi dan tindakan kesehariannya.

Sebagian masyarakat merasakan jenuh ‘terkurung’ di rumah hampir satu tahun ini terjadi lompatan berfikir tentang tawakal. Pemahaman tawakal yang mengandalkan kepasrahan perlu dikontruksi ulang supaya menduduki porsi yang sebenarnya, yakni tawakal sebagai konsep religi yang bersifat aktif dan jauh dari sifat pasif. Di sinilah peran agama dan pendakwah ditantang eksistensinya.

Share:

Banjir Perspektif Eko-Teologis

Terbit, 18 Pebruari 2021

Manusia di daulat sebagai mandataris Tuhan di bumi (khalifatullah fil-ardh) terkadang dimaknai berlebih, alih-alih sebagai khalifah semestinya melestarikan bumi, justru meng-eksploitasinya secara berlebih. Alam hanya dipandang sebagai kosmos berstruktur tumpukan material untuk ditundukkan, dinikmati dan diperalat untuk pemuas nafsu serakah belaka, efek dari semua itu adalah krisis ekologi. Dampak yang ditimbulkan ketika musim kemarau kekeringan, ketika musim hujan kebanjiran. 
 
Tidak diragukan lagi bahwa desain alam semesta pasti seimbang, tak terkecuali setting kemampuan bumi menyerap debit curah hujan kemudian menampungnya dalam rongga tanah sebagai cadangan air di musim kemarau. Namun pola pikir teologis antroposentris yang dikotomis mendorong ego manusia sebagai makhluk superior bertindak sewenang-wenang, akibatnya peran dan fungsi bumi dalam mengolah air hujan terdegradasi. 
 
Wujud kesewenang-wenangan tersebut antara lain berupa penggundulan hutan, pendangkalan sungai, tata kelolah kota yang salah diperburuk lagi problematika sampah yang tak kunjung ditemukan jalan keluarnya. Berbanding terbalik dengan pertumbuhan demografi penduduk biasanya konservasi alam yang menurun. Sampai di sini, sebenarnya tidak salah bila dikatakan banjir disebabkan kesalahan tangan-tangan jahat manusianya itu sendiri. 
 
Menurut Sayyid Hossein Nasr, kerusakan ekologis dalam pelbagai jenisnya dalam dua abad belakangan ini disebabkan krisis spiritual, mendudukkan manusia di singgasana penguasa alam (antroposentris), alam sebagai objek semata. Dampaknya, terjadi disharmonis antara penghuni dan lingkungannya. Walhasil, kerusakan ekologi makin parah, mata rantai ekosistem timpang, musim hujan kebanjiran, musim kemarau kekeringan. 
 
Hujan mestinya anugerah berbalik jadi petaka, bukan rahmat melainkan laknat. Fritjof Capra mensinyalir, bahwa beragam krisis sejatinya disebabkan keserakahan dan kerakusan yang menempatkan ego manusia sebagai subyek penguasa di alam semesta ini. Kalau kita sepakat bahwa salah satu sumbangsih kerusakan ekologi akibat krisis spiritual yang antroposentris, maka tawaran solutifnya adalah meningkatkan wawasan eko-teologis secara massif. 
 
 Wawasan Eko-teologis 
 
Teologi lingkungan (eco-theology) memandang alam dan manusia di hadapan Tuhan adalah sama, keduanya tidak boleh saling ‘menyakiti’. Pandangan semacam ini, satu sisi mendobrak ego, di sisi lain membangun kesadaran bahwa Tuhan poros seluruh kehidupan. Manusia dan alam sama-sama sebagai makhluk ciptaan-Nya. Oleh karena itu keduanya harus menjalin harmoni, pola hubungan subyek ineteraktif, mutualisme dan take and give bukan dieksploitasi atas dasar kehalifahan yang kerap ditunggangi sifat rakus.
 
Wawasan eko-teologis menawarkan perspektif alternatif sebagai solusi atas penanggulangan banjir melalui dua hal; Pertama, kesetaraan manusia dan alam. Manusia dan alam adalah sejajar, masing-masing mengemban fungsi dan peran tersendiri saling menguntungkan dan bersimbiosis secara mutualistik. Eksistensi alam ini ditegaskan oleh Alquran, bahwa bukan diciptakan secara main-main (QS.44:39). Adapun karakter alam selalu bergerak konstan menuntut manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk menyesuaikan dan menyeimbangkan, dalam konteks banjir manusia-lah yang semestinya bertanggung jawab melestarikan dan mengatur sedemikian rupa sehingga bumi tetap mampu menyerap debit hujan yang dikirim oleh langit. Bila terjadi langganan banjir, hal itu harus dipahami karena salah kelolah, bukan faktor cuaca semata. 
 
Kedua, amanah dalam memelihara pesona alam persada dengan cara melestarikan dan mematuhi sunnatullahnya, tidak merusaknya (QS.2:11) supaya bumi ini tetap menjadi tempat yang survive untuk anak cucu kita. Bumi merupakan satu-satunya planet yang cocok kembang biak anak cucu manusia secara turun temurun, meskipun ada ilmuwan menemukan secercah kehidupan di planet lain. Pasti, ongkos hidup di sana sangat mahal sekali. 
 
Konservasi alam dalam perspektif Islam sangat kental dengan ritual keagamaan, dimuat dalam berbagai literasi keagamaan. Misalnya, banyak dijumpai tema hadis tentang larangan membunuh hewan atau mencabut tumbuhan saat melaksanakan ibadah haji, larangan buang hajat di air tenang atau di bawah pohon rindang, memangkas pohon sedang berbuah dan masih banyak lagi tentang pelestarian lingkungan, namun terkadang karena kurang peka dengan makna esoteris, sehingga bentangan makna hadits menguap entah kemana.
 
Hak milik seutuhnya terhadap alam semesta ini adalah Tuhan. Eksistensi manusia di dunia adalah hak pakai, karena itu harus melakukan harmoni serta melestarikannya dengan penuh amanah dan tanggung jawab sebagai mandataris Tuhan di alam raya ini. Banjir, tanah longsor dan sejenisnya tidak lain adalah bagian sabda alam dan protes karena telah diperlakukan semena-mena, seperti penggundulan hutan, buruknya drainase, sempitnya lahan hijau, tata kota yang buruk dan sederet masalah penyerta lainnya. Oleh karena itu, demi keselamatan dan kenyamanan samapi ke anak cucu kita, wawasan lingkungan melalui perspektif teologis (eco-theology) seharus terus disuarakan.
 
 
Share:

Menyegarkan Nasionalisme Melawan Khilafah


Alquran menjadi kitab samawi terakhir paling sempurna diantara kitab samawai lainnya. Di dalamnya memuat aneka cakrawala pengetahuan yang tak lekang ditelan zaman. Alquran laksana samudera tak bertepi, kedalaman informasinya tidak terbatas. Untuk itulah, Alquran terus terbuka untuk diinterpretasi.

Nasionalisme menjadi perbincangan para akademisi sejak revolusi Amerika dan Perancis pada abad ke-18. Isu nasionalisme berkembang ke Eropa Timur dan Tenggara pada abad berikutnya hingga sampai di Afrika memasuki abad XX, termasuk di Indonesia ditandai dengan Budi Utomo.

Nasionalisme didefinisikan sebagai paham cinta bangsa dan negara sendiri (KBBI). Adapaun tujuan paling esensial dari nasionalisme adalah membangun harmoni individu dengan masyarakat lain di atas papan bantalan cinta bangsa, negara dan tanah air. Kata kuncinya adalah cinta yang diasosiasikan secara lahiriyah dengan berperan serta merawat, mengasihi, tanggungjawab dalam mewujudkan kemanan dan kesejahteraan. Jadi, Nasionalisme secara substansi bukan ‘makhluk’ langka, meskipun secara wujud terbilang baru lahir. Kebaruannya itulah menimbulkan sebagian masyarakat gagal fokus dan menolaknya, dengan alasan nasionalisme tak berdalil.

Indikasi penolakan tersebut dapat dilihat dari cuitan netizen dan sempat viral, kurang lebih dikatakan membela nasionalisme tidak berdalil, berbeda dengan memperjuangkan khilafah yang sudah jelas. Penulis duga, penolakan tersebut bukan satu-satunya, masih banyak kelompok kecil berkepala batu yang bersumsi nasionalisme itu ajaran baru dan kebarat-baratan, setiap yang baru dianggap tak berurat nadi terhadap sendi agama.

Berbeda dengan kelompok moderat, baginya agama tanpa nasionalis akan mengantar pemeluknya menjadi ekstrimis, sebaliknya, nasionalis tanpa agama akan menggiring bangsanya menuju sekularisme yang kering spiritualitas. Antara negara dan agama dalam kontek kehidupan keduanya terletak dalam satu bingkai yang saling membutuhkan, karena berbicara agama, akan dibangun di mana jika tidak ada negara. Itulah yang menjadi pandangan para pendiri bangsa ini.

Akhir-akhir ini, keharmonisan hubungan keduanya sedikit terganggu oleh pengusung khilafah, fakta itulah menjadikan pekik nasionalisme beserta prinsip yang mengelilinginya laik untuk terus diteriakkan. Tuduhan bahwa nasionalisme tidak berdalil, adalah kesalahan. Secara implisit, nasionalisme berurat dan berakar dalam ajaran agama, sejalan dan searah. Kalau kita menyisir lembaran-lembaran kitab suci Alquran, maka di sana akan ditemukan doa Nabi Ibrahim as., ” Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya...” (QS. al-Baqarah: 126).

Ada dua hal yang sangat esensial dalam doa Nabi Ibrahim as tersebut. Pertama, keamanan sebagai kebutuhan, dalam konteks pelaksanaan ritual keagamaan, mustahil bisa melaksanakan agama dengan sempurna tanpa jaminan keamanan dari dalam negara. Oleh karena itu, kecintaan kepada negara yang diasosiasiakan dengan pengorbanan menjadi bagian dari cara beragama itu sendiri. Kedua, rizki melimpah yang mengantar bangsanya kepada kesejahteraan. Hal ini dibutuhkan juga bagi orang beragama. Faktanya, banyak ajaran agama yang pelaksanaannya berbasis materi, misalnya zakat, infak, sedekah, wakaf, hadiah dan lain sebagainya. Lagi-lagi untuk mencapai kesejahteraan dibutuhkan situasi yang kondusif yang lahir dari dari kecintaan seseorang terhadap negerinya.

Dua esesnsi doa Nabi Ibrahim as tersebut berbanding lurus dengan semangat nasionalis pancasila, yakni menciptakan keamanan bangsa dengan menjunjung persatuan dan kesatuan, sedangkan kesejahteraan sebagai tujuan akhir bernegara terwakili dengan membentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Kedua esensi doa Nabi Ibrahim tersebut, secara tidak langsung, semangat dan ide-nya tercermin dalam sila-sila pancasila.

Dengan demikian dapat disimpulkan sementara, apabila sepakat bahwa doa yang dipanjatkan Ibrahim adalah begian dari kecintaannya terhadap tanah air Mekah, maka semakin nampak jelas bahwa mencintai negeri (nasionalisme) mempunyai landasan yang cukup kuat. Tidak seperi yang dikatakan oleh sebagian kelompok yang anti nasionalisme.

Di dalam Islam, sikap mencintai negeri (nasionalis) dapat dilacak dari kecintaan baginda Nabi saw terhadap Madinah, dimana beliau menetap dan dimakamkan. Ada riwayat dari ‘Aisyah ra, bahwa Rasulullah pernah bedoa, Ya Allah cintakanlah kami kepada Madinah sebagaimana engkau membuat kami mencintai Mekah, atau lebih cintakanlah kami kepada Madinah (HR. Bukhari). Secara eksplisit Nabi saw memohon agar hatinya ditanamkan benih kecintaan terhadap Madinah, di sana beliau bertempat tinggal dan jasad sucinya dikebumikan. Apa yang dipraktikkan dua Nabi dan Rasul di atas sudah cukup menjadi bukti yang kuat, bahwa mencintai negeri yang atau nasionalisme mempunyai pertalian yang kuat dengan agama.

Dapat ditambahkan di sini, bahwa karakter dasar manusia sangat mencintai tanah air. Tak heran seorang perantau merindukan kampung halamannya meskipun kondisinya jauh lebih terbatas daripada di kota tempat dia bekerja. Ibrahim bin Adham, seorang sufi termasyhur pernah berkata, “Saya tidak pernah merasakan penderitaan yang lebih berat daripada meninggalkan tanah air.” Hal itu menunjukkan betapa cintanya terhadap tanah air, dalam pribahasa dikatakan, hujan batu dinegara sendiri lebih dari pada hujan emas di negeri orang.

Lebih jauh, Fakhr al-Din Al-Rāzi (w. 1210 M) mengatakan dalam tafsirnya, penderitaan orang yang meninggalkan kampun halamannya sama dengan orang yang bunuh diri. Hal itu menunjukkan betapa besar rasa cinta (nasionalisme) seseorang terhadap negeri kelahirannya. Sebaliknya, betapa tersiksanya orang yang terlempar jauh dari negeri sendiri.

Rangkaian penjelasan di atas sudah lebih dari cukup, bahwa nasionalisme dalam arti mencintai tanah air yang berarti juga berkorban, membela serta merawatnya, tidak hanya bersadar terhadap tradisi keagamaan melainkan berurat-akar kuat dengan prinsip agama.

Share:

Popular Posts

Labels

Recent Posts

Motto

  • Membaca
  • Mengamalkan
  • Mennulis
  • Menyebarkan