• Sungai

    darinya laut di isi, beraneka bahan yang ia bawa, dari ikan hingga kotoran. Namun laut bersabar menampungnya. Kesabaran laut patut dicontoh.

  • Pagi Buta

    Semburat mentari di ufuk timur, masuk ke sela-sela rimbun dedaunan, ia hendak datang mengabarkan semangat beraktifitas meraih asa dan cita yang masih tersisa.

  • Malam

    Malam gemerlap bertabur bintang, bintang di langit dan di bumi. Mereka membawa cerita masing masing sebelum akhirnya masuk ke peraduan asmara.

  • Gunung

    Gunung yang kokoh, ia dibangun dengan kuasanya, bukan dengan bantuan kita. Manusia hanya bertugas merawatnya dengan baik dan amanah. Bumiku lestari

  • Siang

    Mentarinya menyinari pohon di dunia, keindahannya luar biasa.

Belanja Kebaikan di Tahun 2025

Saya tidak mau pusing berdebat soal definisi waktu, selain abstrak, waktu juga tidak memiliki pengertian tunggal, tergantung dari perspektif apa waktu didefinisikan. Yang jelas ada waktu psikologis apa yang biasanya dipikirkan orang ketika mereka bertanya apakah waktu hanyalah konstruksi pikiran, ada pula waktu fisik atau sering disebut waktu objektif dan waktu ilmiah. 

Terbukti sehari saat pesta dengan sehari di penjara secara ilmiah durasinya sama, tetapi dalam persepsi psikologis yang menjalaninya pasti berbeda. Saat pesta terasa singkat tetapi saat di penjara terasa sangat lama sekali, itulah perbedaan yang dapat dirasakan. Secara ilmiah saat ini kita telah ditakdirkan Tuhan menghirup udara tahun 2025, meski secara psikologis tidak atau belum merasakan perbedaannya.

Dalam konteks perjalanan hidup ini –tentu yang dimaksud adalah waktu ilmiah--kita bisa menganalogikan usia bagaikan modal untuk belanja kebaikan yang akan dibawa ke alam baka. Setiap individu diberi modal yang berbeda-beda. Ada yang modalnya 50 tahun, 60 tahun bahkan sampai 90 tahun lebih. Namun perlu diperhatikan bahwa keuntungan tidak tergantung besar atau kecilnya modal, melainkan dari kalkulasi nilai barang yang diperoleh dari aktivitas yang dikerjakan. Modal lima juta menjadi sepuluh juta itu lebih baik daripada modal seratus dikembangkan menjadi seratus dua puluh juta. Begitu pula usia, usia 50 tahun dengan seribu kebaikan itu lebih baik daripada satu abad dengan seribu lima ratus kebaikan. 

Dengan demikian, dapat disimpulkan sementara bahwa waktu merupakan kekayaan yang tidak bisa direnovasi, apabila waktu telah rusak maka rusak dan berakhirlah sebuah babak permainan (end game). Oleh karena itu agama mengingatkan betapa pentingnya waktu. Kalau kita menyisir lembaran Al-Qur'an akan ditemukan aneka ragam sumpah yang dikaitkan dengan waktu seperti demi waktu fajar, demi waktu subuh, demi waktu dhuha, demi siang, demi malam dan masih sederet ayat ayat Al-Qur'an yang membincang seputar persoalan waktu. 

Durasi 24 jam yang kita jalani dipergunakan untuk beraktifitas seperti ibadah, makan, minum, menonton film, bercanda, main dan lain-lain merupakan investasi untuk masa depan, aktifitas baik akan mendapat balasan kebaikan, karena hidup ini menggunakan prinsip siapa yang menabur benih dialah yang berpeluang memanen, siapa yang berbuat ia harus menanggung akibatnya. Semua penggunaan waktu merupakan investasi untung rugi di hadapan Allah, kelak ada pertanggungjawabannya. Rasulullah saw bersabda;

 لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أربع: عن عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ 

Artinya, “Dua kaki seorang hamba tidak akan bergerak (pada hari kiamat) sampai dia ditanya tentang empat hal; tentang umurnya, ke mana dihabiskan; terkait ilmunya, apakah yang telah dilakukan dengan ilmu yang dimilikinya; soal hartanya, dari mana ia memperolehnya dan di mana dibelanjakan; dan tentang tubuh badannya, untuk apa ia gunakan.” (HR at-Tirmidzi) 

Perjalanan waktu detik demi detik, menit dan jam berganti hingga hari, bulan berganti bulan dan tahun pun berganti tahun, bagaikan titik demi titik yang membentuk sebuah gugusan garis yang solid. Kehadiran kita di tahun baru ini merupakan hal penting untuk disyukuri, karena masih punya kesempatan untuk belanja kebaikan yang lebih banyak lagi. 

Saya berharap di tahun ini lebih baik dan lebih beruntung dari tahun sebelum-sebelumnya. Orang beruntung adalah dia yang hari ini lebih baik dari hari kemarin dan esok lebih baik dari sekarang. Saya berharap dipertemukan dengan orang orang yang mengisnpirasi, tidak ruwet dan tidak baper serta dipertemukan orang-orang yang kehadirannya memacu iman dan taqwa serta berkarya. Di tahun ini juga semoga lebih tekun menyelesaikan beberapa buku sebagai asupan bergizi untuk ruhani serta mencerdaskan dan menyehatkan. Semoga Allah mengabulkan… amiin. 

Selamat tinggal 2024…

Share:

Kewajiban Berkurban Bagi Orang Muslim

Dokumentasi Kurban di Soebono tahun 2012
Dok. kurban di Yayasan Soebono 2012

Dzulhijjah bagi umat muslim merupakan momentum bersejarah tak terlupakan, pada bulan tersebut peristiwa dahsyat yaitu Nabi Ibrahim diperintahkan Allah swt menyembelih puteranya sebagai kurban. Dari situlah akar historis ibadah kurban diambil. Selain itu, Dzulhijjah juga bulan terakhir dalam perhitungan kalender hijriyah. Di akhir tahun tersebut, seolah-olah setelah bekerja setahun penuh, sebagai hamba Allah yang taat ‘ditagih’ sebagian kecil penghasilannya untuk berkurban, sebagai bentuk syukur dan cara mendekatkan diri kepada Allah. 

Adapun landasan hukum kurban didasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Anas ra yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ibn Majah, At-Tirmidzi, An-nasa’I, Ibn Majah dan Imam Ahmad, semakna dengan riwayat Imam Muslim.

 حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا 

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Qatadah dari Anas, dia berkata: “Rasulullah saw. berkurban dengan dua ekor domba jantan yang berwarna putih kehitaman lagi bertanduk. Beliau menyembelih keduanya dengan tangannya sambil mengucapkan basmalah dan bertakbir dan meletakkan kakinya di salah satu sisi dari kedua hewan tersebut. 

Dalam hadis tersebut di atas, Rasul saw berkurban dua kambing, dirinci dalam riwayat Imam Baihaqi Nabi berkurban untuk beliau dan ummatnya. Dalam hadis tersebut juga disebutkan bertanduk dan warnanya, hal ini menurut ulama’ isyarat disunnahkan yang bertanduk dan pilihan warna putih yang ada hitamnya. Pendek kata, berkurban hendaknya dengan hewan yang terbaik dengan niat mendekatkan diri kepada Allah swt. 

Kemudian Nabi menyembalih dengan tangan beliau sendiri, artinya disunnahkan untuk menyembelihnya sendiri, kecuali ada uzur, baru diwakilkan kepada ahlinya atau panitia. dengan catatan sesuai dengan aturan syara’. 

Kemudian hadis di atas juga menyebutkan tata cara menyembelihnya, yaitu direbahkan terlebih dahulu, artinya tidak disembelih dalam keadaan berdiri. Hal ini akan dibicarakan khusus dalam kitab-kitab fiqh tentang cara penyembelihan. 

Adapun berkaitan dengan hukumya, ulama’ berbeda pendapat. Sebagian ulama’ mewajibkan namun menurut jumhur menghukuminya sunnat, marilah kita udar satu persatu; 

Berkurban Hukumnya Wajib

 Pendapat yang menyatakan bahwa kurban itu wajib antara lain berdasarkan kepada Al-Qur'an dalam surat al-Kautsar.

 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. 

Dalam kaidahnya, perintah menunjukkan wajib, pada frase ‘berkorbanlah’ dalam surat al-Kautsar di atas difirmankan dengan bentuk amar (perintah), hal ini menunjukkan bahwa berkurban hukumnya wajib. Diperkuat dengan hadis 

 

أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من كان له سعة ولم يُضَحِّ فلا يقربنَّ مُصلاَّنا 

“Barang siapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami” (H.R. Ibnu Majah). 

Larangan mendekati tempat shalat dalam hadis di atas mengindikasikan adanya kewajiban, Di dalam kitab subul as-salam, Imam as-Shan’ani menuliskan pendapat ulama’ yang mengesankan bahwa tidak ada faidahnya melaksanakan shalat tetapi meninggalkan kewajiban ini (kurban). Adapun yang mempunyai pendapat wajibnya kurban antara lain adalah Ima Hanafi. 

Berkurban Hukumnya Sunnah

Mayoritas ulama berpendapat sunnat, salah satu dasarnya adalah hadis Ummu Salamah,

 أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يُضحى فلا يمسَّ من شعره وبشره شيئًا 

“Jika 10 Dzulhijjah telah datang, dan Apabila salah satu diantara kamu hendak berkurban maka janganlah ia menyentuh (ikut memakan) rambut dan kulitnya sedikit pun”. 

Dari hadis di atas terdapat frase, ‘apabila salah satu diantara mau menghendaki” ini menunjukkan tidak wajib. Jadi, hukum berkurban adalah sunnat, pendapat jumhur ulama’ mengatakan bahwa berkurban hukumnya sunah. Seperti pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnu Mundir, Daud dan Ibnu Hazm. 

Adapun berkaitan dengan hadis nabi yang bernuansa perintah/wajib, sebenarnya bagi rasul kurban adalah wajib tapi bagi ummatnya adalah sunah, Sebagaimana riwayat Imam Baihaqi, kutiba alaiyya an-nahru wa walam yuktab alaikum, diwajibkan atasku tapi tidak wajib untuk kalian. Masih hadis yang diriwayatkan Imam Baihaqi bahwa “ada tiga amal yang wajib bagiku, namun sunnah bagi kalian”, salah satunya adalah ibadah kurban. Bahkan dalam riwayat Imam Baihaqi yang lain dijelaskan Abu Bakar dan Umar pada tahun-tahun awal tidak berkurban karena khawatir dianggap sebagai syariat wajib, padahal secara finansial Abu Bakar termasuk sahabat yang kaya raya. 

Meski tidak wajib, tapi berkurban sangat dianjurkan karena mempunyai nilai penting bagi kemaslahatan bersama, sebagai bagian dari tanggung jawab sosial. Saking pentingnya berkurban, dalam sebuah riwayat yang disandarkan kepada Imam Baihaqi, Ibn Abbas ketika jelang ‘Idul Adha memberikan dua dirham kepada budaknya untuk membel idaging dan mengabarkan kepada orang-orang sebagai kurbannya Ibn Abbas. 

Riwayat yang lain, Bilal bin Rabah berkurban dengan ayam, pendek kata, berkurban itu penting bagi siapapun. Mental Islam didik sebagai mental pekurban bukan peminta-minta, hatta sahabat sekalipun, apalagi masih sekelas ustadz, karena perbuatan meminta-minta adalah memalukan dan tidak terpuji.

Share:

Multi Tafsir Makna Fi Sabilillah


Ramadhan datang lagi, setiap memasuki penghujung Ramadhan salah satu pertanyaan yang selalu terulang adalah mustahik zakat dalam kategori fi sabilillah. Penulis akan berusaha menyajikan pendapat secara komprehensif dari berbagai sudut pandang mazhab baik klasik maupun ulama’ kontemporer, agar maknanya jelas bagai bulan purnama (jw. ceto welo-welo).

Kalau kita menyisir lembaran Al-Qur'an maka kita akan temukan kata fisabilillah terulang 45 kali yang tersebar dalam 42 ayat di 13 surat. Satu kali di surat Makiyyah yaitu surat al-Muzammil dan selebihnya di dalam surat yang tergolong Madaniyah, paling banyak terulang di surat al-Baqarah dan at-taubah, masing-masing terulang 9 kali. Namun yang akan kita kaji adalah fokus dengan fi sabilillah dalam kaitannya dengan ashnaf mustahik zakat. Kami cukupkan sampai di sini profil frase fi sabilillah dalam Al-Qur'an.  

Tulisan ini bukan pledoi yang melihat penafsiran fi sabilillah dengan kaca mata kuda, melainkan mengungkap secara ilmiah bahwa faktanya ada perbedaan pendapat yang tak dapat dihindari mengenai makna fi sabilillah sebagai ashnaf zakat sebagaimana ditunjuk dalam surat at-Taubah: 60.

Terminologi fi sabilillah tampak global, tidak ada target audiens yang spesifik, sehingga butuh keterangan pendamping untuk menjelaskan maksudnya. Secara literal fi sabilillah bermakna di jalan Allah.

Secara garis besar, ada dua kelompok besar yang berbeda, yaitu ulama’ kontemporer seperti Rasyid Ridha, mahmud syaltut dan kawan-kawan, di sisi lain ada jumhur ulama’ dalam hal ini adalah imam empat mazhab; Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

 

Fī Sabilillah Menurut Ulama Kontemporer

Sayyid Rasyid Rida dalam tafsir al-manār menyimpulkan pendapatnya sendiri mengenai makna fī sabīlillah. Sesungguhnya yang dimaksud dengan sabīlillah di sini adalah kemaslahatan umat Islam secara umum karena dengannya (zakat) dapat memperkuat urusan agama dan negara. Senada dengan Rasyid Ridha, Mahmud Syaltut berpendapat, fi sabīlillah lebih dekat dengan makna kemaslahatan umum, Syaltut memberikan beberapa contoh yang salah satunya adalah keperluan militer untuk meningkatkan keamanan negara. Termasuk di dalamnya pendirian rumah sakit militer, pembuatan jalan, rel kereta api dan keperluan umum lainnya untuk kepentingan militer.

Mahmud Syaltut mengutip pendapat ar-Rāzī dalam kitab tafsir mafatihul ghaib (Juz, 16, 115): “Secara umum makna fī sabīlillah  tidak dipersempit ke makna tentara perang. Oleh sebab itu al-Qaffāl menuliskan dalam tafsirnya yang bersumber dari pendapat para ahli fikih bahwa mereka membolehkan distribusi zakat (melalui asnaf ini) untuk keperluan kemaslahatan umum. Dan masih banyak lain pendapat ulama’ kontemporer, namun tidak ditampilkan secara keseluruhan di sini. Benang merah pendapat mereka dapat ditangkan bahwa di jalan Allah yang dimaksud adalah semua jalan kebaikan (sabilil khair) yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.

Hasil penelitian Jamalia Idrus tahun 2011, membagi perbedaan makna fi sabilillah menjadi dua katagori yakni pengertian secara sempit dalam arti jihad atau perang di jalan Allah seperti Ibnu Katsir, meskipun mufasir lain seperti  al-Maraghi, Buya Hamka dan lainnya memaknai fi sabilillah dalam arti luas atau umum, yaitu meliputi semua jenis kebaikan, ketaatan, dan memasukkan semua kegiatan sosial.

Perlu diketahui bahwa, ulama’ kontemporer juga tidak bulat satu suara menginterpretasikan fi sabilillah dalam makna luas, seperti Wahbah az-Zuhaily, seorang profesor produktif ahli di bidang tafsir, fiqh dan keilmuan lainnya, beliau berpendapat fī sabīlilah sebagaimana pendapat para imam mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali yang memaknai fī sabīlilah sebagai tentara perang yang tidak mendapatkan tunjangan dari pemerintah/negar (baca, Mausū’atu al-Fiqh al-Islāmiy, 782-783).

Syekh Yusuf al-Qaradhawi sendiri sebenarnya netral, seperti pengakuannya dalam Kitab az-Zakah menurutnya, tidak ada perluasan arti sabilillah untuk segala perbuatan yang menimbulkan kemaslahatan dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Begitu pula tidak mempersempit pengertian sabilillah hanya untuk jihad dalam arti tentara saja. Beliau melihat bahwa jihad itu lebih umum pengertiannya dari pada qital (berperang), peperangan itu hanya bagian dari bentuk jihad yang diberi dana zakat dari kelompok fi sabilillah. Walaupun menurut penilaian penulis al-Qaradhawi lebih condong kepada pemaknaan lebih luas, silahkan telusuri Kitab az-Zakah, di sana banyak makna yang dipaparkan.  

 Menurut Jumhur Ulama’

Pendapat Imam Hanafi, diwakili Abu Yusuf, fī sabīlillāh adalah tentara perang yang miskin, termasuk juga orang haji yang kehabisan perbekalannya, karena haji termasuk jihad melawan nafsu. Imam Kasāni menafsirkan fi sabilillah termasuk semua amal saleh dan ketaatan kepada Allah Swt. Namun perlu digaris bawahi tebal-tebal, seluruh Ulama' Hanafiyah di atas menurut Ibnu Najim dalam al-Bahrur Raiq mensyaratkan status fakir miksin. Ini yang terkadang luput dari penceramah. Bahkan seorang tentara perang tidak diberi bagian zakat apabila ia tidak fakir, lebih jelasnya, Ibn al-‘Arabi dalam ahkam al-Qur’an mengatakan la tu’tha al-ghazi illa idza kana faqiran (tentara perang tidak diberi bagian fi sabilillah kecuali bila ia fakir)

Kemudian Imam Maliki sebagaimana dinukil oleh Ibn ‘Arabi dalam tafsirnya menyatakan,

سُبُل الله كثيرة, ولكنى لا أعلم خلافا في أن المراد بسبيل الله هاهنا الغزو من جملة سبيل الله

Jalan-jalan Allah itu ada banyak makna, akan tetapi aku tidak tahu perdebatan (pendapat lain) bahwa makna dari fī sabīlillah di ayat ini adalah berperang (di jalan Allah Swt.)

Muhammad bin Abdul Hakam membolehkan keperluan diambil dari zakat. Sependapat dengan ad-Dasūqi dalam Hasyiah ad-Dasuqi mengatakan, harta zakat dapat diberikan dalam bentuk peralatan perang yang dibagikan kepada mujahid, kalau demikian dapat disimpulkan sementara bahwa fī sabīlillah menurut malikiyah berkenaan dengan perang dan jihad tanpa memandang status ekonomi tentara. Penggunaan zakat juga bisa untuk bangunan perang atau peralatan perang, tapi pada intinya adalah berkaitan dengan perang—tidak sembarang sesuatu yang mengandung kemashlahatan umum. Jadi, jelas bahwa bukan untuk sekolahan, rumah sakit umum, jalan raya atau publikasi, karena terlalu jauh dan terkesan dipaksakan konteks kegunaannya dari zakat, kecuali kalau dari infaq atau sumber dana baitul mal lainnya.

Dalam kitab al-minhāj, Imam Nawawi juga musyarrihnya Ibnu Hajar al-Haitami, berpendapat, maksud fī sabīlillah adalah tentara perang sukarela yang tidak digaji pemerintah. Dapat ditarik benang merahnya bahwa antara mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah sepakat fī sabīlillah dalam konteks zakat hanya untuk hal hal yang berkaitan dengan perang. Sepakat pula dalam pemberian zakat untuk tentara yang kaya sekalipun, serta sepakat dalam membolehkan menggunakan dana zakat untuk kebutuhan/peralatan perang. Bukan untuk pembangunan rumah sakit, jalan atau fasilitas umum lainnya. Seperti gedung sekolah, pesantren. Sekali ini dalam pandangan imam mazhab. 

Senada dengan pandangan mazhab Syafi’I adalah pandangan fī sabīlillah menurut mazhab Hanbali, yakni tentara perang sukarelawan yang tidak mendapatkan tunjangan khusus dari pemerintah, walaupun mereka orang kaya boleh diambilkan dari dana zakat. Sayyid Hasan Khan dalam kitab Raudhatun Nadhiyyah yang dikutip oleh Qaradhawi dalam Kitabuz Zakah bahwa tak perduli kaya atau miskin semua ulama’ boleh mendapat bagian zakat dari sabilillah.

Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa jumhur empat mazhab berbeda pendapat dalam hal tekhnis distribusi zakat kepada ashnaf fi sabilillah, namun semua sepakat bahwa jihad yang dimaksud adalah dalam arti perang baik secara langsung maupun sarana prasaran perang atau keamanan, termasuk dibolehkan untuk kesejahteraan tentara perang

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوِ ابْنِ السَّبِيلِ، أَوْ جَارٍ فَقِيرٍ يُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ، فَيُهْدِي لَكَ أَوْ يَدْعُوكَ

Dalam hadis di atas disebutkan bahwa tentara perang yang berjihad di jalan Allah dihalalkan baginya harta zakat. Penyebutan kriteria tentara di hadis tersebut merupakan dalil yang jelas bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillah dalam ayat 60 di surah At-Taubah adalah tentara perang. Seklai lagi, bukan kemashlahatan dalam makna umum.

 

Kesimpulan

Setelah mempertimbangan beragama pendapat seperti terbaca di atas maka, dapat disimpulkan menjadi dua pemaknaan fi sabilillah, pertama, para cerdik cendekia dan ulama kontemporer menginterpretasikan fi sabilillah dalam arti luas, yaitu dalam arti semua jalan kebaikan (fi sabilil khoir) sehingga cabangnya tak terbatas, mengatanamakan kontekstualisasi dan perbedaan zaman dalam memaknai perang. Inpirasi ini juga dapat ditemukan pendapat al-Qaffal dalam Tafsir Murah Labiid atau yang dikenal dengan nama tafsir al-munir karya Syeikh Nawawiy al-Bantani.

Kedua, jumhur ulama’ dari empat mazhab memaknai fi sabilillah dalam arti sempit yaitu sesuatu yang hal-hal yang berkaitan dengan jihad dalam arti perang. karena jika fi sabilillah dimaknai dalam arti luas yaitu fi sabilil khair, maka apapun kebaikan akan masuk calam cakupannya, termasuk bagian kepada fakir miskin, yatim, jatah ‘amil, gharim dan seterusnya semua masuk dalam sabilil khair dan ini akan menimbulkan kerancuan cakupan makna fi sabilillah itu sendiri. Tidak perlu kitab tebal, kita bisa lihat di Tafsir al-Jalalain saja misalnya,

وفي سبيل الله اي القائمين بالجهاد ممن لا فيء لهم ولو اغنياء

Maksudnya: “ (fi sabilillah) artinya adalah orang orang yang melaksanakan jihad (peperangan membela agama allah SWT) yang tidak mendapatkan harta fai’ sekalipun mereka kaya”

Jadi, fi sabilillah dalam arti sempit lebih tepat menurut penulis, bukan semua kebaikan yang bersifat umum dicakup dalam makna fi sabilillah, terlebih lagi pembangunan fasilitas umum tidak ada batasannya yang jelas, yang mengkhawatirkan nasib kemanusiaannya fakir, miskin dan ashnaf zakat lainnya. Penulis juga dikuatkan dengan karya DR. Muhammad bakr Isma’il dalam kitabnya al-Fiqh al-Wadlih yang memilih bahwa sabilillah dalam arti orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah SWT adalah yang paling benar. Perlu diingat itu pula pendapat mayoritas ulama’.

Share:

Profil Surat Al-Fatihah

Setelah beberapa hari yang lalu diposting tentang Sejarah Mushaf; dari penulisan hingga tanda baca maka untuk melihat kehebatan Alquran kita bisa cermati profil al-Fatihah ini. Surat al-Fatihah adalah merupakan surat pertama dalam urutan mushaf Utsmani. Namun secara perurutan wahyu, al-Fatihah termasuk surat yang turun di era awal-awal diturunkan wahyu. Al-Fatihah termasuk surat makiyah yang diturunkan setelah Nabi mendapatkan perintah shalat pada waktu mi’raj. Wajar, karena dalam shalat bacaan surat Alfatihah merupakan rukun qauliy yang tidak boleh ditinggalkan.   

Dalam kaitannya dengan hukum membaca Fatihah pada waktu shalat, selain hadis yang sudah populer bahwa shalat tanpa fatihah tidak diterima, Al-Mubarakfury mengutip beberapa hadits yang berkaitan dengan hukum membaca al-fatihah dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda. “Barangsiapa yang melaksanakan shalat tanpa membaca surah al-Fatihah maka hal itu seperti bayi yang terlahir prematur (beliau menyatukan hal itu tiga kali). 

Fatihah terdiri dari 141 huruf dengan maaliki, namun apabila dibaca tanpa alif maka jumlah hurufnya 140 huruf. Adapun jumlah tasydid dalam surat al-Fatihah berjumlah 14, tiga dalam basmalah dan selebihnya dalam ayat selanjutnya hingga ayat terakhir. Perkara tasydid ini menjadi sangat penting, karena tasydid merupakan huruf double, sedangkan dalam pembacaan fatihah harus secara lengkap, apabila menghilangkan tasydid berarti tidak membaca fatihah secara sempurna dan ini mengakibatkan tidak sah dalam shalat.

Kewajiban dalam membaca fatihah ada 10 antara lain:

1.        Membaca secara keseluruhan

2.        Membacanya pada saat berdiri.

3.        Tidak mengalihkan makna

4.        Membacanya dapat didengar secara keseluruhan

5.        Dengan bahasa Arab

6.        Menjaga tasydid-nya

7.        Membaca semua huruf

8.        Tidak lahn yang dapat mengubah makna

9.        Terus menerus atau tidak dijedah

10.    Dibaca secara tertib

 

Ada banyak sekali nama surat ini, paling tidak ada dua puluh lebih mengenai nama surat tersebut. Al-Fatihah, Ummul Qur’an, ummul Kitab, Sab’ul Matsani dan masih banyak lagi. salah satunya adalah ummul kitab karena di dalam surat Al-Fatihah mencakup secara garis besar isi Alquran. Secara garis besar Alquran mengandung tiga ajaran pokok dalam beragama, yaitu akidah, syariah dan sejarah, begitulah isi surat Alfatihah ayat 1-4 berisi aqidah, ayat 4 dan 5 berisi syariah sedangkan 6 dan 7 adalah sejarah. Fahruddin Ar-Razi seabgaimana diktuip dalam Itqan fi ‘Ulumil Alquran karya Imam Suyuthi dalam bab keutamaan ayat Alquran berpendapat, Alfatihah menetapkan empat perkara tentang; ketuhanan, hari akhir tempat manusia kembali, kenabian dan penetapan kehendak Allah swt. 

Rasyad Khalifah (w. 1990 M) telah menemukan sebuah perhitungan kemunculan kata kata dalam Alquran yang sangat menakjubkan. hal tersebut dapat dilihat dalam Alquran ditinjau dari perspektif angka. Salah satunya adalah ketika menghitung huruf-huruf dalam basmalah berjumlah 19, ini karena bismillah tidak ditulis dengan alif. Jumalh tersebut bisa habis dibagi dengan probabilitas atau kemunculan kata ism, Alla, ar-Rahman dan ar-Rahim sebagaimana dalam bismillaihirrahmanirrahiim. Ism dalam Alquran terulang 19 kali, sedangkan lafad Allah terulang sebanyak 2698 kalau dibagi 19 menjadi 142. Sedangkan ar-rahman terulang 57 kali, kalau dibagi 19 menjadi 3, sedangkan kata ar-Rahim terulang 114 kali, kalau dibagi 19 akan ktemu angka 6. Sebuah perulangan kata yang sangat dahsyat dan menakjubkan.  

Share:

Sejarah Mushaf; Dari Penulisan Mushaf hingga Tanda Baca

Alquran merupakan sumber ajaran agama Islam yang tertinggi, berisi seperangkat ajaran akidah, syariah dan sejarah. Ia menjadi referensi paling paripurna dan menjadi soko guru keagamaan terpenting di atas hadis Nabi Muhammad saw. Beragam pengertian terkait dengan Alquran, tapi intinya hendak menjelaskan bahwa Alquran adalah wahyu Allah yang dituliskan, sedangkan tulisan Alquran yang dihimpun dalam satu buku dinamakan dengan mushaf. Pengertian Alquran, menurut Imam Al-Jurjani

هُوَ اَلْمُنَزَّلُ عَلَى الرَّسُولِ المَكْتُوبِ فِى الْمَصَاحِفِ اَلْمَنْقُولُ عَنْهُ نَقْلًا مُتَوَاتِرًا بِلَا شُبْهَةٍ

Alquran sendiri mempunyai banyak keistimewaan baik dari segi bahasa seperti diksi, susunan kebahasaan bahkan keunikan tersebut pernah dibuktikan oleh Abd Daim al-Khalil ketika melihat Alquran ditinjau dari perspektif angka, ia menemukan banyak sekali probabilitas yang menakjubkan. Tidak hanya itu masih banyak sekali kemukjizatan Alquran yang sudah maupun belum ditemukan  

Sejarah Perjalanan Penulisan Mushaf Alquran.
Secara global perjalanan penulisan Alquran melewati tiga periode yaitu masa Nabi Muhammad saw yang belum dibukuan, masa Abu Bakar yang berhasil membukukan Alquran atau disebut mushaf dan pada masa Utsman bin Affan ra.

Pada masa Nabi saw tulisan Alquran belum dalam bentuk mushaf masih ada beberapa sahabat yang menulis di pelepah kurma, kulit bahkan berdasarkan sejarah ada juga yang sudah menulis di kertas, namun Alquran terjamin keasliannya karena diawetkan dalam bentuk hafalan para sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. Kemudian beliau wafat pada tahun 11 H.

Kekhalifahan pertama ada ditangan Abu Bakar ash-Shiddiq, pada masa ini banyak peperangan besar yang menewaskan penghafal Alquran seperti perang Yamamah, orang-orang murtad serta fenomena munculnya Nabi-nabi palsu. Maka atas saran Umar bin Khattab untuk membukukan Alquran, dipanggillah juru tulis yang dahulu menuliskan Alquran ketika rasul mendapat wahyu, antara lain;  
Dalam jangka waktu satu tahun, pada tahun 13 H. Alquran berhasil ditulis dalam satu buku yang disebut dengan mushaf. Setelah Abu Bakar wafat kemudian mushaf tersebut dipindah-tangankan ke Umar bin Khattab (13-23 H.) kemudian setelah Umar bin Khatab meninggal, mushaf dijaga oleh Hafsah binti Umar.

Kekhalifahan dipimpin oleh Usman bin Affan (23-35 H.). Pada masa inilah babak baru penulisan mushaf kembali dimulai. Mengingat perkembangan Islam tersebar luas ke berbagai penjuru tidak hanya orang Arab saja yang membaca Alquran, melainkan di luar Arab juga banyak yang membaca Alquran. Hudzaifah al-Yamamah sebagai seorang hakim banyak menjumpai perkara silang sengketa soal bacaan Alquran. Sepulang dari perluasan Islam ke Azerbeijan dan menemukan kasus-kasus tersebut maka mengusulkan kepada Khalifah Usman bin Affan untuk membukukan Alquran. Usul tersebut disetujui, dan mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf untuk diperbanyak. Sebagian ulama berpendapat diperbanyak menjadi lima atau enam kemudian disebarkan ke seluruh kota kota besar untuk diperbanyak, sekaligus memberikan pengumuman bahwa selain mushaf tersebut harus dibakar. Tulisan Mushaf  pada masa kekhalifahan ini masih berupa tulisan tangan dan kosong tanpa tanda baca berupa titik maupun syakalnya.
Pemberian Tanda Baca

Pada perkembangan selanjutnya Pemberian titik dan baris pada mushaf Alquran ini dilakukan dalam tiga fase.

Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan kira-kira tahun 53 H. Saat itu, menugaskan gubernur Irak, kemudian gubernur Irak menunjuk kepada Abdul Aswad ad-Dualy untuk meletakkan tanda baca i'rab (nuqthatul i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.

Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, al-Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik (nuqthatul i’jam), awalnya berupa lingkaran kemudian berkembang berbentuk kubus dan ditulis berwarna untuk, misalnya, huruf baa' dengan satu titik di bawah, huruf ta’ dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, al-Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hayy bin Ya'mar.

Baru kemudian, pada masa Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa damah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah Alquran. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 170 H), seorang enseklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada.

Jadi mereka menjadikan umat Islam saat ini apa pun ras dan sukunya mempunyai Alquran yang sama sesuai dengan sanad yang diterima dari guru-guru mereka. Sehingga memudahkan umat setelahnya untuk membaca Alquran. Sebenarnya kalau direnungkan sebenarnya pembukuan Alquran bukan perintah rasul saw. melainkan inisiatif dari sahabat khulafaur rasyidin dan berlanjut hingga masa tabi'in. Baru kemudian perkembangan selanjutnya adalah ilmu yang membaca Alquran atau tajwid yang baru disusun di akhir abad 3, yaitu Abu Muzahim Al-Khaqani. (lahir 248 H - 325 H).   


Share:

Al-Quar'an Ditinjau Dari Perspektif Angka

 ABSTRAK: Dekade awal turunnya Qur'an setelah wafatnya Nabi saw kira kira abad 2 hijriyah, para mufasir mengira bahwa kemukjizatan Alquran hanya terdapat pada segi bahasa saja, kemudian dengan berkembangnya disiplin tema ulumul Alquran, mereka menemukan beberapa kemukjizatan lain di dalam Alquran, seperti kemukjizatan ‘ilmi, al-ghaibiy, at-tasyrī’iy hingga saat ini ditemukan adanya kemukjizatan alquran dari segi pengulangan kata dalam Alquran yang kemudian disebut dengan i’jaz ar-raqmiy atau i’jaz ‘adadi. Kemukjizatan Alquran dalam perspektif angka tergolong baru dan masih belum mempunyai metodologi baku, meski upaya ini sudah dilakukan sejak masa As-Saqafi dan Khalifah Marwan, kemudian kurun berikutnya dikembangkan oleh Rasad Khalifah, Abdul Razaq Naufal, Abd. Daim al-Kahil dan lain-lain. I’jāz ‘adadi masih perlu dikembangkan lebih sempurna lagi untuk menjadi metodologi baru dalam memahami kandungan isi Alquran.

PENDAHULUAN
Alquran sebagai sumber pokok ajaran Islam memberikan sajian yang mempesona dengan semua kajian keilmuan yang melekat didalamnya, baik dari segi gaya bahasa (uslub),  ketelitian redaksinya maupun hubungan pilihan diksi dengan  probabilitas kemunculan kata tersebut. Dari segi gaya bahasanya, alquran mempunyai gaya bahasa yang paling indah dalam literatur arab yang ada, Al-Khulli menyebutnya al-kitab al-‘arabiyyah al-akbar. Tidak mungkin ditandingi oleh gerombolan ahli sastra arab sekalipun. Segi otentisitas Alquran melalui periwayatan yang ketat, mustahil terjadi kesepakatan untuk berbohong. Argumen yang terkandung didalamnya tak bisa dipatahkan.

Dekade awal turunya Alquran ‘dituduh’ sebagai produk olah pikir Muhammad saw untuk mempengaruhi kaum Quraisy Mekah agar berkenan mengikuti risalah yang dibawanya, namun argumen tersebut terpatahkan oleh Nabi Muhammad saw yang tidak mengenal tulis baca (ummi). Sebenarnya pengakuan Nabi saw bahwa Alquran bersumber dari Allah adalah sudah cukup menjadi bukti, seandainya Muhammad adalah pembohong seperti yang kaum quraisy tuduhkan, mestinya beliau mengaku bahwa Alquran merupakan karyanya, untuk meningkatkan popularitas dirinya.  Bisa saja seseorang membantah sengaja dikatakan sebagai firman Allah agar ditaati dan diikuti, bukankah di dalamnya juga ada ayat-ayat yang ‘mengecam’ beliau?.  Belum lagi terkait dengan ke-ummi-an Nabi Muhammad itu sendiri. Masih sederet bukti lain yang bisa ditunjukkan dalam hal ini.

Sampai abad modern ini –dan abad-abad berikutnya—Alquran tetap kokoh menjadi penuntun kebenaran dan informasi penting bagi kehidupan, salah satu petunjuk Alquran yang mencengangkan adalah akurasi probabilitas kata yang digunakan ternyata mempunyai pertalian makna yang sempurna dengan pengulangan kata tersebut, padahal ayat demi ayat turun secara gradual dalam kurun waktu yang cukup lama, namun setelah dibukukan, ditemukan berbagai keajaiban berupa angka-angka probabilitas kemunculan kata yang mempunyai pertalian dengan makna yang dikandungnya. Tapi tak jarang juga disalahgunakan dan dipaksakan untuk menyikapi kejadian tertentu yang dianggap fenomenal (baca; cocoklogi)

Pernah ada seorang ustadz yang khutbah dengan lantang bahwa runtuhnya gedung WTC tanggal 11 September 2001 terkait erat QS. At-Taubah ayat 109. Tanggal 11 adalah angka surat at-Taubah yang terletak di juz 11, tahun 2001 dikorelasikan dengan jumlah huruf dalam surat at-taubah. Jumlah tingkat di gedung WTC ada 109 dihubungkan sebagai ayatnya. Maka lahirlah kesimpulan serampangan dengan menunjuk kepada QS. at-Taubah: 109.

Tidak hanya itu. Kejadian runtuhnya WTC hanya satu dari sekian fenomena yang dihubungkan dengan ayat Alquran dari perspektif angka. Seperti Tsunami, gempa, jatuhnya pesawat termasuk aksi 212 dan lain sebagainya. Perujukan Alquran semacam ini perlu disikapi dengan tegas dan dikaji, agar tidak lahir tafsir yang serampangan tidak berdasar kajian yang ilmiah dan validitasnya diragukan.

Ketelitian redaksi Alquran memang sangat megagumkan sehingga setiap kata mengandung mukjizat. Termasuk kemukjizatan Alquran dilihat dari perspektif angka-angka dan pengulangan kata-katanya mengandung makna yang mencengangkan yang tak tertandingi oleh karya manusia. Namun benarkah cara-cara di atas adalah bagian dari metode mengungkap sisi kemukjizatan Alquran dalam perspektif angka (i’jāz al-raqmiy atau i’jāz ‘adadi) sebagaimana sudah dilakukan para penggiat kajian Alquran terdahulu. Butuh kajian lebih mendalam dalam hal ini.


Adapun obyek kajian tulisan ini seputar mengungkap temuan-temuan mukjizat Alquran ditinjau dari perspektif angka (i’jāz ‘adadi). Adapun yang akan diulas adalah berkaitan dengan angka 7, 19 dan 11. Untuk lebih fokus terhadap arah penulisan ini, maka dipandang perlu dibuat sebuah rumusan masalah; Apa pengertian i’jaz adadi dan Bagaimana kemu’jizatan angka 7, 19 dan 11 serta korelasi pertalian makna yang dikandungnya?

Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan sumber-sumber terkait dengan mukjizat Alquran perspektif angka dalam kitab al mausu’ah i’jaz ar raqmi karya Abd Daim al Kahil, kemudian al i’jaz ‘adadi lil qur’ani al kariim karya Abdurrozaq Naufal,  serta beberapa karya lain yang berkaitan dengan pokok bahasan tersebut. 

Karena keterbatasan tempat, selanjutnya bisa anda kutip, baca dan download di link berikut: Jurnal Ushuluddin PTIQ: artikel M. Wiyono.

Share:

Popular Posts

Labels

Judul Tulisan

Recent Posts

Motto

  • Membaca
  • Mengamalkan
  • Mennulis
  • Menyebarkan