• Sungai

    darinya laut di isi, beraneka bahan yang ia bawa, dari ikan hingga kotoran. Namun laut bersabar menampungnya. Kesabaran laut patut dicontoh.

  • Pagi Buta

    Semburat mentari di ufuk timur, masuk ke sela-sela rimbun dedaunan, ia hendak datang mengabarkan semangat beraktifitas meraih asa dan cita yang masih tersisa.

  • Malam

    Malam gemerlap bertabur bintang, bintang di langit dan di bumi. Mereka membawa cerita masing masing sebelum akhirnya masuk ke peraduan asmara.

  • Gunung

    Gunung yang kokoh, ia dibangun dengan kuasanya, bukan dengan bantuan kita. Manusia hanya bertugas merawatnya dengan baik dan amanah. Bumiku lestari

  • Siang

    Mentarinya menyinari pohon di dunia, keindahannya luar biasa.

Multi Tafsir Makna Fi Sabilillah


Ramadhan datang lagi, setiap memasuki penghujung Ramadhan salah satu pertanyaan yang selalu terulang adalah mustahik zakat dalam kategori fi sabilillah. Penulis akan berusaha menyajikan pendapat secara komprehensif dari berbagai sudut pandang mazhab baik klasik maupun ulama’ kontemporer, agar maknanya jelas bagai bulan purnama (jw. ceto welo-welo).

Kalau kita menyisir lembaran Al-Qur'an maka kita akan temukan kata fisabilillah terulang 45 kali yang tersebar dalam 42 ayat di 13 surat. Satu kali di surat Makiyyah yaitu surat al-Muzammil dan selebihnya di dalam surat yang tergolong Madaniyah, paling banyak terulang di surat al-Baqarah dan at-taubah, masing-masing terulang 9 kali. Namun yang akan kita kaji adalah fokus dengan fi sabilillah dalam kaitannya dengan ashnaf mustahik zakat. Kami cukupkan sampai di sini profil frase fi sabilillah dalam Al-Qur'an.  

Tulisan ini bukan pledoi yang melihat penafsiran fi sabilillah dengan kaca mata kuda, melainkan mengungkap secara ilmiah bahwa faktanya ada perbedaan pendapat yang tak dapat dihindari mengenai makna fi sabilillah sebagai ashnaf zakat sebagaimana ditunjuk dalam surat at-Taubah: 60.

Terminologi fi sabilillah tampak global, tidak ada target audiens yang spesifik, sehingga butuh keterangan pendamping untuk menjelaskan maksudnya. Secara literal fi sabilillah bermakna di jalan Allah.

Secara garis besar, ada dua kelompok besar yang berbeda, yaitu ulama’ kontemporer seperti Rasyid Ridha, mahmud syaltut dan kawan-kawan, di sisi lain ada jumhur ulama’ dalam hal ini adalah imam empat mazhab; Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

 

Fī Sabilillah Menurut Ulama Kontemporer

Sayyid Rasyid Rida dalam tafsir al-manār menyimpulkan pendapatnya sendiri mengenai makna fī sabīlillah. Sesungguhnya yang dimaksud dengan sabīlillah di sini adalah kemaslahatan umat Islam secara umum karena dengannya (zakat) dapat memperkuat urusan agama dan negara. Senada dengan Rasyid Ridha, Mahmud Syaltut berpendapat, fi sabīlillah lebih dekat dengan makna kemaslahatan umum, Syaltut memberikan beberapa contoh yang salah satunya adalah keperluan militer untuk meningkatkan keamanan negara. Termasuk di dalamnya pendirian rumah sakit militer, pembuatan jalan, rel kereta api dan keperluan umum lainnya untuk kepentingan militer.

Mahmud Syaltut mengutip pendapat ar-Rāzī dalam kitab tafsir mafatihul ghaib (Juz, 16, 115): “Secara umum makna fī sabīlillah  tidak dipersempit ke makna tentara perang. Oleh sebab itu al-Qaffāl menuliskan dalam tafsirnya yang bersumber dari pendapat para ahli fikih bahwa mereka membolehkan distribusi zakat (melalui asnaf ini) untuk keperluan kemaslahatan umum. Dan masih banyak lain pendapat ulama’ kontemporer, namun tidak ditampilkan secara keseluruhan di sini. Benang merah pendapat mereka dapat ditangkan bahwa di jalan Allah yang dimaksud adalah semua jalan kebaikan (sabilil khair) yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.

Hasil penelitian Jamalia Idrus tahun 2011, membagi perbedaan makna fi sabilillah menjadi dua katagori yakni pengertian secara sempit dalam arti jihad atau perang di jalan Allah seperti Ibnu Katsir, meskipun mufasir lain seperti  al-Maraghi, Buya Hamka dan lainnya memaknai fi sabilillah dalam arti luas atau umum, yaitu meliputi semua jenis kebaikan, ketaatan, dan memasukkan semua kegiatan sosial.

Perlu diketahui bahwa, ulama’ kontemporer juga tidak bulat satu suara menginterpretasikan fi sabilillah dalam makna luas, seperti Wahbah az-Zuhaily, seorang profesor produktif ahli di bidang tafsir, fiqh dan keilmuan lainnya, beliau berpendapat fī sabīlilah sebagaimana pendapat para imam mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali yang memaknai fī sabīlilah sebagai tentara perang yang tidak mendapatkan tunjangan dari pemerintah/negar (baca, Mausū’atu al-Fiqh al-Islāmiy, 782-783).

Syekh Yusuf al-Qaradhawi sendiri sebenarnya netral, seperti pengakuannya dalam Kitab az-Zakah menurutnya, tidak ada perluasan arti sabilillah untuk segala perbuatan yang menimbulkan kemaslahatan dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Begitu pula tidak mempersempit pengertian sabilillah hanya untuk jihad dalam arti tentara saja. Beliau melihat bahwa jihad itu lebih umum pengertiannya dari pada qital (berperang), peperangan itu hanya bagian dari bentuk jihad yang diberi dana zakat dari kelompok fi sabilillah. Walaupun menurut penilaian penulis al-Qaradhawi lebih condong kepada pemaknaan lebih luas, silahkan telusuri Kitab az-Zakah, di sana banyak makna yang dipaparkan.  

 Menurut Jumhur Ulama’

Pendapat Imam Hanafi, diwakili Abu Yusuf, fī sabīlillāh adalah tentara perang yang miskin, termasuk juga orang haji yang kehabisan perbekalannya, karena haji termasuk jihad melawan nafsu. Imam Kasāni menafsirkan fi sabilillah termasuk semua amal saleh dan ketaatan kepada Allah Swt. Namun perlu digaris bawahi tebal-tebal, seluruh Ulama' Hanafiyah di atas menurut Ibnu Najim dalam al-Bahrur Raiq mensyaratkan status fakir miksin. Ini yang terkadang luput dari penceramah. Bahkan seorang tentara perang tidak diberi bagian zakat apabila ia tidak fakir, lebih jelasnya, Ibn al-‘Arabi dalam ahkam al-Qur’an mengatakan la tu’tha al-ghazi illa idza kana faqiran (tentara perang tidak diberi bagian fi sabilillah kecuali bila ia fakir)

Kemudian Imam Maliki sebagaimana dinukil oleh Ibn ‘Arabi dalam tafsirnya menyatakan,

سُبُل الله كثيرة, ولكنى لا أعلم خلافا في أن المراد بسبيل الله هاهنا الغزو من جملة سبيل الله

Jalan-jalan Allah itu ada banyak makna, akan tetapi aku tidak tahu perdebatan (pendapat lain) bahwa makna dari fī sabīlillah di ayat ini adalah berperang (di jalan Allah Swt.)

Muhammad bin Abdul Hakam membolehkan keperluan diambil dari zakat. Sependapat dengan ad-Dasūqi dalam Hasyiah ad-Dasuqi mengatakan, harta zakat dapat diberikan dalam bentuk peralatan perang yang dibagikan kepada mujahid, kalau demikian dapat disimpulkan sementara bahwa fī sabīlillah menurut malikiyah berkenaan dengan perang dan jihad tanpa memandang status ekonomi tentara. Penggunaan zakat juga bisa untuk bangunan perang atau peralatan perang, tapi pada intinya adalah berkaitan dengan perang—tidak sembarang sesuatu yang mengandung kemashlahatan umum. Jadi, jelas bahwa bukan untuk sekolahan, rumah sakit umum, jalan raya atau publikasi, karena terlalu jauh dan terkesan dipaksakan konteks kegunaannya dari zakat, kecuali kalau dari infaq atau sumber dana baitul mal lainnya.

Dalam kitab al-minhāj, Imam Nawawi juga musyarrihnya Ibnu Hajar al-Haitami, berpendapat, maksud fī sabīlillah adalah tentara perang sukarela yang tidak digaji pemerintah. Dapat ditarik benang merahnya bahwa antara mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah sepakat fī sabīlillah dalam konteks zakat hanya untuk hal hal yang berkaitan dengan perang. Sepakat pula dalam pemberian zakat untuk tentara yang kaya sekalipun, serta sepakat dalam membolehkan menggunakan dana zakat untuk kebutuhan/peralatan perang. Bukan untuk pembangunan rumah sakit, jalan atau fasilitas umum lainnya. Seperti gedung sekolah, pesantren. Sekali ini dalam pandangan imam mazhab. 

Senada dengan pandangan mazhab Syafi’I adalah pandangan fī sabīlillah menurut mazhab Hanbali, yakni tentara perang sukarelawan yang tidak mendapatkan tunjangan khusus dari pemerintah, walaupun mereka orang kaya boleh diambilkan dari dana zakat. Sayyid Hasan Khan dalam kitab Raudhatun Nadhiyyah yang dikutip oleh Qaradhawi dalam Kitabuz Zakah bahwa tak perduli kaya atau miskin semua ulama’ boleh mendapat bagian zakat dari sabilillah.

Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa jumhur empat mazhab berbeda pendapat dalam hal tekhnis distribusi zakat kepada ashnaf fi sabilillah, namun semua sepakat bahwa jihad yang dimaksud adalah dalam arti perang baik secara langsung maupun sarana prasaran perang atau keamanan, termasuk dibolehkan untuk kesejahteraan tentara perang

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوِ ابْنِ السَّبِيلِ، أَوْ جَارٍ فَقِيرٍ يُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ، فَيُهْدِي لَكَ أَوْ يَدْعُوكَ

Dalam hadis di atas disebutkan bahwa tentara perang yang berjihad di jalan Allah dihalalkan baginya harta zakat. Penyebutan kriteria tentara di hadis tersebut merupakan dalil yang jelas bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillah dalam ayat 60 di surah At-Taubah adalah tentara perang. Seklai lagi, bukan kemashlahatan dalam makna umum.

 

Kesimpulan

Setelah mempertimbangan beragama pendapat seperti terbaca di atas maka, dapat disimpulkan menjadi dua pemaknaan fi sabilillah, pertama, para cerdik cendekia dan ulama kontemporer menginterpretasikan fi sabilillah dalam arti luas, yaitu dalam arti semua jalan kebaikan (fi sabilil khoir) sehingga cabangnya tak terbatas, mengatanamakan kontekstualisasi dan perbedaan zaman dalam memaknai perang. Inpirasi ini juga dapat ditemukan pendapat al-Qaffal dalam Tafsir Murah Labiid atau yang dikenal dengan nama tafsir al-munir karya Syeikh Nawawiy al-Bantani.

Kedua, jumhur ulama’ dari empat mazhab memaknai fi sabilillah dalam arti sempit yaitu sesuatu yang hal-hal yang berkaitan dengan jihad dalam arti perang. karena jika fi sabilillah dimaknai dalam arti luas yaitu fi sabilil khair, maka apapun kebaikan akan masuk calam cakupannya, termasuk bagian kepada fakir miskin, yatim, jatah ‘amil, gharim dan seterusnya semua masuk dalam sabilil khair dan ini akan menimbulkan kerancuan cakupan makna fi sabilillah itu sendiri. Tidak perlu kitab tebal, kita bisa lihat di Tafsir al-Jalalain saja misalnya,

وفي سبيل الله اي القائمين بالجهاد ممن لا فيء لهم ولو اغنياء

Maksudnya: “ (fi sabilillah) artinya adalah orang orang yang melaksanakan jihad (peperangan membela agama allah SWT) yang tidak mendapatkan harta fai’ sekalipun mereka kaya”

Jadi, fi sabilillah dalam arti sempit lebih tepat menurut penulis, bukan semua kebaikan yang bersifat umum dicakup dalam makna fi sabilillah, terlebih lagi pembangunan fasilitas umum tidak ada batasannya yang jelas, yang mengkhawatirkan nasib kemanusiaannya fakir, miskin dan ashnaf zakat lainnya. Penulis juga dikuatkan dengan karya DR. Muhammad bakr Isma’il dalam kitabnya al-Fiqh al-Wadlih yang memilih bahwa sabilillah dalam arti orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah SWT adalah yang paling benar. Perlu diingat itu pula pendapat mayoritas ulama’.

Share:

Profil Surat Al-Fatihah

Setelah beberapa hari yang lalu diposting tentang Sejarah Mushaf; dari penulisan hingga tanda baca maka untuk melihat kehebatan Alquran kita bisa cermati profil al-Fatihah ini. Surat al-Fatihah adalah merupakan surat pertama dalam urutan mushaf Utsmani. Namun secara perurutan wahyu, al-Fatihah termasuk surat yang turun di era awal-awal diturunkan wahyu. Al-Fatihah termasuk surat makiyah yang diturunkan setelah Nabi mendapatkan perintah shalat pada waktu mi’raj. Wajar, karena dalam shalat bacaan surat Alfatihah merupakan rukun qauliy yang tidak boleh ditinggalkan.   

Dalam kaitannya dengan hukum membaca Fatihah pada waktu shalat, selain hadis yang sudah populer bahwa shalat tanpa fatihah tidak diterima, Al-Mubarakfury mengutip beberapa hadits yang berkaitan dengan hukum membaca al-fatihah dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda. “Barangsiapa yang melaksanakan shalat tanpa membaca surah al-Fatihah maka hal itu seperti bayi yang terlahir prematur (beliau menyatukan hal itu tiga kali). 

Fatihah terdiri dari 141 huruf dengan maaliki, namun apabila dibaca tanpa alif maka jumlah hurufnya 140 huruf. Adapun jumlah tasydid dalam surat al-Fatihah berjumlah 14, tiga dalam basmalah dan selebihnya dalam ayat selanjutnya hingga ayat terakhir. Perkara tasydid ini menjadi sangat penting, karena tasydid merupakan huruf double, sedangkan dalam pembacaan fatihah harus secara lengkap, apabila menghilangkan tasydid berarti tidak membaca fatihah secara sempurna dan ini mengakibatkan tidak sah dalam shalat.

Kewajiban dalam membaca fatihah ada 10 antara lain:

1.        Membaca secara keseluruhan

2.        Membacanya pada saat berdiri.

3.        Tidak mengalihkan makna

4.        Membacanya dapat didengar secara keseluruhan

5.        Dengan bahasa Arab

6.        Menjaga tasydid-nya

7.        Membaca semua huruf

8.        Tidak lahn yang dapat mengubah makna

9.        Terus menerus atau tidak dijedah

10.    Dibaca secara tertib

 

Ada banyak sekali nama surat ini, paling tidak ada dua puluh lebih mengenai nama surat tersebut. Al-Fatihah, Ummul Qur’an, ummul Kitab, Sab’ul Matsani dan masih banyak lagi. salah satunya adalah ummul kitab karena di dalam surat Al-Fatihah mencakup secara garis besar isi Alquran. Secara garis besar Alquran mengandung tiga ajaran pokok dalam beragama, yaitu akidah, syariah dan sejarah, begitulah isi surat Alfatihah ayat 1-4 berisi aqidah, ayat 4 dan 5 berisi syariah sedangkan 6 dan 7 adalah sejarah. Fahruddin Ar-Razi seabgaimana diktuip dalam Itqan fi ‘Ulumil Alquran karya Imam Suyuthi dalam bab keutamaan ayat Alquran berpendapat, Alfatihah menetapkan empat perkara tentang; ketuhanan, hari akhir tempat manusia kembali, kenabian dan penetapan kehendak Allah swt. 

Rasyad Khalifah (w. 1990 M) telah menemukan sebuah perhitungan kemunculan kata kata dalam Alquran yang sangat menakjubkan. hal tersebut dapat dilihat dalam Alquran ditinjau dari perspektif angka. Salah satunya adalah ketika menghitung huruf-huruf dalam basmalah berjumlah 19, ini karena bismillah tidak ditulis dengan alif. Jumalh tersebut bisa habis dibagi dengan probabilitas atau kemunculan kata ism, Alla, ar-Rahman dan ar-Rahim sebagaimana dalam bismillaihirrahmanirrahiim. Ism dalam Alquran terulang 19 kali, sedangkan lafad Allah terulang sebanyak 2698 kalau dibagi 19 menjadi 142. Sedangkan ar-rahman terulang 57 kali, kalau dibagi 19 menjadi 3, sedangkan kata ar-Rahim terulang 114 kali, kalau dibagi 19 akan ktemu angka 6. Sebuah perulangan kata yang sangat dahsyat dan menakjubkan.  

Share:

Sejarah Mushaf; Dari Penulisan Mushaf hingga Tanda Baca

Alquran merupakan sumber ajaran agama Islam yang tertinggi, berisi seperangkat ajaran akidah, syariah dan sejarah. Ia menjadi referensi paling paripurna dan menjadi soko guru keagamaan terpenting di atas hadis Nabi Muhammad saw. Beragam pengertian terkait dengan Alquran, tapi intinya hendak menjelaskan bahwa Alquran adalah wahyu Allah yang dituliskan, sedangkan tulisan Alquran yang dihimpun dalam satu buku dinamakan dengan mushaf. Pengertian Alquran, menurut Imam Al-Jurjani

هُوَ اَلْمُنَزَّلُ عَلَى الرَّسُولِ المَكْتُوبِ فِى الْمَصَاحِفِ اَلْمَنْقُولُ عَنْهُ نَقْلًا مُتَوَاتِرًا بِلَا شُبْهَةٍ

Alquran sendiri mempunyai banyak keistimewaan baik dari segi bahasa seperti diksi, susunan kebahasaan bahkan keunikan tersebut pernah dibuktikan oleh Abd Daim al-Khalil ketika melihat Alquran ditinjau dari perspektif angka, ia menemukan banyak sekali probabilitas yang menakjubkan. Tidak hanya itu masih banyak sekali kemukjizatan Alquran yang sudah maupun belum ditemukan  

Sejarah Perjalanan Penulisan Mushaf Alquran.
Secara global perjalanan penulisan Alquran melewati tiga periode yaitu masa Nabi Muhammad saw yang belum dibukuan, masa Abu Bakar yang berhasil membukukan Alquran atau disebut mushaf dan pada masa Utsman bin Affan ra.

Pada masa Nabi saw tulisan Alquran belum dalam bentuk mushaf masih ada beberapa sahabat yang menulis di pelepah kurma, kulit bahkan berdasarkan sejarah ada juga yang sudah menulis di kertas, namun Alquran terjamin keasliannya karena diawetkan dalam bentuk hafalan para sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. Kemudian beliau wafat pada tahun 11 H.

Kekhalifahan pertama ada ditangan Abu Bakar ash-Shiddiq, pada masa ini banyak peperangan besar yang menewaskan penghafal Alquran seperti perang Yamamah, orang-orang murtad serta fenomena munculnya Nabi-nabi palsu. Maka atas saran Umar bin Khattab untuk membukukan Alquran, dipanggillah juru tulis yang dahulu menuliskan Alquran ketika rasul mendapat wahyu, antara lain;  
Dalam jangka waktu satu tahun, pada tahun 13 H. Alquran berhasil ditulis dalam satu buku yang disebut dengan mushaf. Setelah Abu Bakar wafat kemudian mushaf tersebut dipindah-tangankan ke Umar bin Khattab (13-23 H.) kemudian setelah Umar bin Khatab meninggal, mushaf dijaga oleh Hafsah binti Umar.

Kekhalifahan dipimpin oleh Usman bin Affan (23-35 H.). Pada masa inilah babak baru penulisan mushaf kembali dimulai. Mengingat perkembangan Islam tersebar luas ke berbagai penjuru tidak hanya orang Arab saja yang membaca Alquran, melainkan di luar Arab juga banyak yang membaca Alquran. Hudzaifah al-Yamamah sebagai seorang hakim banyak menjumpai perkara silang sengketa soal bacaan Alquran. Sepulang dari perluasan Islam ke Azerbeijan dan menemukan kasus-kasus tersebut maka mengusulkan kepada Khalifah Usman bin Affan untuk membukukan Alquran. Usul tersebut disetujui, dan mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf untuk diperbanyak. Sebagian ulama berpendapat diperbanyak menjadi lima atau enam kemudian disebarkan ke seluruh kota kota besar untuk diperbanyak, sekaligus memberikan pengumuman bahwa selain mushaf tersebut harus dibakar. Tulisan Mushaf  pada masa kekhalifahan ini masih berupa tulisan tangan dan kosong tanpa tanda baca berupa titik maupun syakalnya.
Pemberian Tanda Baca

Pada perkembangan selanjutnya Pemberian titik dan baris pada mushaf Alquran ini dilakukan dalam tiga fase.

Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan kira-kira tahun 53 H. Saat itu, menugaskan gubernur Irak, kemudian gubernur Irak menunjuk kepada Abdul Aswad ad-Dualy untuk meletakkan tanda baca i'rab (nuqthatul i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.

Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, al-Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik (nuqthatul i’jam), awalnya berupa lingkaran kemudian berkembang berbentuk kubus dan ditulis berwarna untuk, misalnya, huruf baa' dengan satu titik di bawah, huruf ta’ dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, al-Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hayy bin Ya'mar.

Baru kemudian, pada masa Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa damah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah Alquran. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 170 H), seorang enseklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada.

Jadi mereka menjadikan umat Islam saat ini apa pun ras dan sukunya mempunyai Alquran yang sama sesuai dengan sanad yang diterima dari guru-guru mereka. Sehingga memudahkan umat setelahnya untuk membaca Alquran. Sebenarnya kalau direnungkan sebenarnya pembukuan Alquran bukan perintah rasul saw. melainkan inisiatif dari sahabat khulafaur rasyidin dan berlanjut hingga masa tabi'in. Baru kemudian perkembangan selanjutnya adalah ilmu yang membaca Alquran atau tajwid yang baru disusun di akhir abad 3, yaitu Abu Muzahim Al-Khaqani. (lahir 248 H - 325 H).   


Share:

Al-Quar'an Ditinjau Dari Perspektif Angka

 ABSTRAK: Dekade awal turunnya Qur'an setelah wafatnya Nabi saw kira kira abad 2 hijriyah, para mufasir mengira bahwa kemukjizatan Alquran hanya terdapat pada segi bahasa saja, kemudian dengan berkembangnya disiplin tema ulumul Alquran, mereka menemukan beberapa kemukjizatan lain di dalam Alquran, seperti kemukjizatan ‘ilmi, al-ghaibiy, at-tasyrī’iy hingga saat ini ditemukan adanya kemukjizatan alquran dari segi pengulangan kata dalam Alquran yang kemudian disebut dengan i’jaz ar-raqmiy atau i’jaz ‘adadi. Kemukjizatan Alquran dalam perspektif angka tergolong baru dan masih belum mempunyai metodologi baku, meski upaya ini sudah dilakukan sejak masa As-Saqafi dan Khalifah Marwan, kemudian kurun berikutnya dikembangkan oleh Rasad Khalifah, Abdul Razaq Naufal, Abd. Daim al-Kahil dan lain-lain. I’jāz ‘adadi masih perlu dikembangkan lebih sempurna lagi untuk menjadi metodologi baru dalam memahami kandungan isi Alquran.

PENDAHULUAN
Alquran sebagai sumber pokok ajaran Islam memberikan sajian yang mempesona dengan semua kajian keilmuan yang melekat didalamnya, baik dari segi gaya bahasa (uslub),  ketelitian redaksinya maupun hubungan pilihan diksi dengan  probabilitas kemunculan kata tersebut. Dari segi gaya bahasanya, alquran mempunyai gaya bahasa yang paling indah dalam literatur arab yang ada, Al-Khulli menyebutnya al-kitab al-‘arabiyyah al-akbar. Tidak mungkin ditandingi oleh gerombolan ahli sastra arab sekalipun. Segi otentisitas Alquran melalui periwayatan yang ketat, mustahil terjadi kesepakatan untuk berbohong. Argumen yang terkandung didalamnya tak bisa dipatahkan.

Dekade awal turunya Alquran ‘dituduh’ sebagai produk olah pikir Muhammad saw untuk mempengaruhi kaum Quraisy Mekah agar berkenan mengikuti risalah yang dibawanya, namun argumen tersebut terpatahkan oleh Nabi Muhammad saw yang tidak mengenal tulis baca (ummi). Sebenarnya pengakuan Nabi saw bahwa Alquran bersumber dari Allah adalah sudah cukup menjadi bukti, seandainya Muhammad adalah pembohong seperti yang kaum quraisy tuduhkan, mestinya beliau mengaku bahwa Alquran merupakan karyanya, untuk meningkatkan popularitas dirinya.  Bisa saja seseorang membantah sengaja dikatakan sebagai firman Allah agar ditaati dan diikuti, bukankah di dalamnya juga ada ayat-ayat yang ‘mengecam’ beliau?.  Belum lagi terkait dengan ke-ummi-an Nabi Muhammad itu sendiri. Masih sederet bukti lain yang bisa ditunjukkan dalam hal ini.

Sampai abad modern ini –dan abad-abad berikutnya—Alquran tetap kokoh menjadi penuntun kebenaran dan informasi penting bagi kehidupan, salah satu petunjuk Alquran yang mencengangkan adalah akurasi probabilitas kata yang digunakan ternyata mempunyai pertalian makna yang sempurna dengan pengulangan kata tersebut, padahal ayat demi ayat turun secara gradual dalam kurun waktu yang cukup lama, namun setelah dibukukan, ditemukan berbagai keajaiban berupa angka-angka probabilitas kemunculan kata yang mempunyai pertalian dengan makna yang dikandungnya. Tapi tak jarang juga disalahgunakan dan dipaksakan untuk menyikapi kejadian tertentu yang dianggap fenomenal (baca; cocoklogi)

Pernah ada seorang ustadz yang khutbah dengan lantang bahwa runtuhnya gedung WTC tanggal 11 September 2001 terkait erat QS. At-Taubah ayat 109. Tanggal 11 adalah angka surat at-Taubah yang terletak di juz 11, tahun 2001 dikorelasikan dengan jumlah huruf dalam surat at-taubah. Jumlah tingkat di gedung WTC ada 109 dihubungkan sebagai ayatnya. Maka lahirlah kesimpulan serampangan dengan menunjuk kepada QS. at-Taubah: 109.

Tidak hanya itu. Kejadian runtuhnya WTC hanya satu dari sekian fenomena yang dihubungkan dengan ayat Alquran dari perspektif angka. Seperti Tsunami, gempa, jatuhnya pesawat termasuk aksi 212 dan lain sebagainya. Perujukan Alquran semacam ini perlu disikapi dengan tegas dan dikaji, agar tidak lahir tafsir yang serampangan tidak berdasar kajian yang ilmiah dan validitasnya diragukan.

Ketelitian redaksi Alquran memang sangat megagumkan sehingga setiap kata mengandung mukjizat. Termasuk kemukjizatan Alquran dilihat dari perspektif angka-angka dan pengulangan kata-katanya mengandung makna yang mencengangkan yang tak tertandingi oleh karya manusia. Namun benarkah cara-cara di atas adalah bagian dari metode mengungkap sisi kemukjizatan Alquran dalam perspektif angka (i’jāz al-raqmiy atau i’jāz ‘adadi) sebagaimana sudah dilakukan para penggiat kajian Alquran terdahulu. Butuh kajian lebih mendalam dalam hal ini.


Adapun obyek kajian tulisan ini seputar mengungkap temuan-temuan mukjizat Alquran ditinjau dari perspektif angka (i’jāz ‘adadi). Adapun yang akan diulas adalah berkaitan dengan angka 7, 19 dan 11. Untuk lebih fokus terhadap arah penulisan ini, maka dipandang perlu dibuat sebuah rumusan masalah; Apa pengertian i’jaz adadi dan Bagaimana kemu’jizatan angka 7, 19 dan 11 serta korelasi pertalian makna yang dikandungnya?

Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan sumber-sumber terkait dengan mukjizat Alquran perspektif angka dalam kitab al mausu’ah i’jaz ar raqmi karya Abd Daim al Kahil, kemudian al i’jaz ‘adadi lil qur’ani al kariim karya Abdurrozaq Naufal,  serta beberapa karya lain yang berkaitan dengan pokok bahasan tersebut. 

Karena keterbatasan tempat, selanjutnya bisa anda kutip, baca dan download di link berikut: Jurnal Ushuluddin PTIQ: artikel M. Wiyono.

Share:

Potret Vaksin Dalam Rekonstruksi Tawakal

Terbit, 22 Pebruari 2021

Semua bangsa di dunia berjibaku melawan penularan covid-19, beragam jurus dikeluarkan, namun belum ada tanda-tanda turun, justru belakangan ini menunjukkan trend peningkatan tajam, setiap harinya memakan korban puluhan ribu orang. Pendek kata, semua elemen masyarakat dibelahan dunia manapun kesulitan berdamai dengan pandemi, tak terkecuali Indonesia.

Upaya pemerintah menghambat laju penularan covid dibuktikan dengan gencar melakukan sosialisasi protokol kesehatan sudah berlangsung satu tahun, puncaknya adalah ikhtiar pemerintah yang memberikan vaksin gratis kepada semua elemen masyarakat. Meski demikian, sebentuk penolakan terhadap vaksin oleh sebagian kelompok terdengar nyarin di awal-awal sosialisai, meskipun sampai saat ini sudah mulai senyap—tetapi bukan berarti tidak ada. 

Di sisi lain, masyarakat mulai jenuh terhadap situasi dan kondisi ‘terpenjara’ di rumah sendiri, terbukti banyaknya pelanggaran protokol kesehatan, di jalan, perkatoran, pertokohan, tempat hiburan bahkan masih kita jumpai event resepsi yang tetap digelar meskipun sadar bahwa kerumunan massa tak terlekkan.

Pemerintah menghadapi dua masalah sekaligus yaitu masalah eksternal berupa pandemi dan problem internal berupa kejenuhan masyarakatnya untuk tetap sabar dan mengurangi mobilitas di luar rumah. Harus diakui sebagian memang terpaksa harus bekerja di luar rumah.

Kejenuhan tersebut menimbulkan sebentuk ‘putus asa’ seraya berseloroh, hidup mati sudah suratan, orang yang malang melintang di jalanan faktanya sehat-sehat saja. Fakta-fakta seperti ini kerap menjadi papan bantalan masyarakat beragama dalam mengaplikasikan tawakal. Tawakal dimaknai serampangan sebagai sistem penyerahan total tanpa ikhtiar apa-apa. Pasrah yang lebih bersifat nekad dan konyol belaka. Oleh sebab itu, rancang bangun pemikiran tawakal butuh dikonstruksi ulang—minimal diluruskan.

Tawakal disebut berulang kali dalam Alquran, namun perlu digarisbawahi, tawakkal dalam bentuk kata perintah (fi’il amr) tak kurang dari sebelas kali, sepuluh diantaranya selalu didahului dengan tindakan yang bersifat aktif, bukan menyerah dan pasrah tanpa upaya apapun.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi Rasul saw. memberikan gambaran tawakalnya dengan mengambil pelajaran dari upaya seekor burung yang keluar dari sarangnya pagi hari dalam kondisi lapar, kemudian kembali ke sarangnya sore hari dalam kondisi kenyang. Hadis tersebut mengajarkan, untuk memperoleh anugerah harus didahului dengan aktivitas yang bersifat aktif, bukan berpangku tangan sembari mengharap keajaiban dari langit. Begitu pula dengan menghadapi pandemi saat ini, dibutuhkan ikhtiar untuk menghidarkan diri dari massifnya penularan yang terjadi.

Dari sini nampak sekali, sesungguhnya konsep tawakal adalah konsep religi yang dikonstruk sebagai konsep yang aktif, namun tidak sedikit yang karena kekerdilan pengertiannya dan kurang menghayati ajaran agama sehingga konsep tersebut berubah sebaliknya, menjadi konsep yang pasif bahkan cenderung destruktif. Alih-alih mengaku bertawakal, menyerah dengan nihil usaha.

Dalam masa pendemi seperti ini, mengaplikasikan tawakal secara aktif menjadi sangat penting. Hal itu dapat diaplikasikan ke dalam dua cara, Pertama, menyerahkan suratan takdir setelah melakukan upaya keras yang bersifat aktif. Seperti, new normal, PSBB, PPKM, sosialisasi 5M; memakain masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangin mobilitas. Karena hanya inilah langkah satu-satunya yang paling bijak hingga vaksin diberikan, bahkan setelah vaksin diberikan pun protokol kesehatan harus tetap digalakkan. 

Kedua, pengadaan vaksin, bila dikatakan vaksin yang ada adalah bersifat darurat karena terlalu cepat, maka jawabannya adalah ‘iya’. Tetapi dalam kondisi darurat seperti saat ini, bukan tidak beralasan menciptakan vaksin bersifat darurat. Ibarat orang lapar adalah, kondisi saat ini mendekati kelaparan, oleh karena itu tidak perlu menunggu makanan yang benar-benar bergizi, tetapi cukup untuk menjaga kelangsungan hidup adalag prioritas pertama, kira-kira itulah eksistensi vaksin yang ada pada saat ini. 

Kita tentu heran dengan pola pikir sebagian orang di masa pandemi seperti saat ini, sudah terpantau dengan mudah di Indonesia tiap harinya ribuan orang yang terpapar covid tapi pelanggaran protokol kesehatan sampai penolakan vaksin masih saja terdengar, nampaknya mereka hanya percaya dengan apa yang ia mau percaya sesuka hatinya. Salah dan benar, fakta dan fiktif hanya menjadi tumpukan berita belaka, tidak mampu mengubah ideologi dan tindakan kesehariannya.

Sebagian masyarakat merasakan jenuh ‘terkurung’ di rumah hampir satu tahun ini terjadi lompatan berfikir tentang tawakal. Pemahaman tawakal yang mengandalkan kepasrahan perlu dikontruksi ulang supaya menduduki porsi yang sebenarnya, yakni tawakal sebagai konsep religi yang bersifat aktif dan jauh dari sifat pasif. Di sinilah peran agama dan pendakwah ditantang eksistensinya.

Share:

Banjir Perspektif Eko-Teologis

Terbit, 18 Pebruari 2021

Manusia di daulat sebagai mandataris Tuhan di bumi (khalifatullah fil-ardh) terkadang dimaknai berlebih, alih-alih sebagai khalifah semestinya melestarikan bumi, justru meng-eksploitasinya secara berlebih. Alam hanya dipandang sebagai kosmos berstruktur tumpukan material untuk ditundukkan, dinikmati dan diperalat untuk pemuas nafsu serakah belaka, efek dari semua itu adalah krisis ekologi. Dampak yang ditimbulkan ketika musim kemarau kekeringan, ketika musim hujan kebanjiran. 
 
Tidak diragukan lagi bahwa desain alam semesta pasti seimbang, tak terkecuali setting kemampuan bumi menyerap debit curah hujan kemudian menampungnya dalam rongga tanah sebagai cadangan air di musim kemarau. Namun pola pikir teologis antroposentris yang dikotomis mendorong ego manusia sebagai makhluk superior bertindak sewenang-wenang, akibatnya peran dan fungsi bumi dalam mengolah air hujan terdegradasi. 
 
Wujud kesewenang-wenangan tersebut antara lain berupa penggundulan hutan, pendangkalan sungai, tata kelolah kota yang salah diperburuk lagi problematika sampah yang tak kunjung ditemukan jalan keluarnya. Berbanding terbalik dengan pertumbuhan demografi penduduk biasanya konservasi alam yang menurun. Sampai di sini, sebenarnya tidak salah bila dikatakan banjir disebabkan kesalahan tangan-tangan jahat manusianya itu sendiri. 
 
Menurut Sayyid Hossein Nasr, kerusakan ekologis dalam pelbagai jenisnya dalam dua abad belakangan ini disebabkan krisis spiritual, mendudukkan manusia di singgasana penguasa alam (antroposentris), alam sebagai objek semata. Dampaknya, terjadi disharmonis antara penghuni dan lingkungannya. Walhasil, kerusakan ekologi makin parah, mata rantai ekosistem timpang, musim hujan kebanjiran, musim kemarau kekeringan. 
 
Hujan mestinya anugerah berbalik jadi petaka, bukan rahmat melainkan laknat. Fritjof Capra mensinyalir, bahwa beragam krisis sejatinya disebabkan keserakahan dan kerakusan yang menempatkan ego manusia sebagai subyek penguasa di alam semesta ini. Kalau kita sepakat bahwa salah satu sumbangsih kerusakan ekologi akibat krisis spiritual yang antroposentris, maka tawaran solutifnya adalah meningkatkan wawasan eko-teologis secara massif. 
 
 Wawasan Eko-teologis 
 
Teologi lingkungan (eco-theology) memandang alam dan manusia di hadapan Tuhan adalah sama, keduanya tidak boleh saling ‘menyakiti’. Pandangan semacam ini, satu sisi mendobrak ego, di sisi lain membangun kesadaran bahwa Tuhan poros seluruh kehidupan. Manusia dan alam sama-sama sebagai makhluk ciptaan-Nya. Oleh karena itu keduanya harus menjalin harmoni, pola hubungan subyek ineteraktif, mutualisme dan take and give bukan dieksploitasi atas dasar kehalifahan yang kerap ditunggangi sifat rakus.
 
Wawasan eko-teologis menawarkan perspektif alternatif sebagai solusi atas penanggulangan banjir melalui dua hal; Pertama, kesetaraan manusia dan alam. Manusia dan alam adalah sejajar, masing-masing mengemban fungsi dan peran tersendiri saling menguntungkan dan bersimbiosis secara mutualistik. Eksistensi alam ini ditegaskan oleh Alquran, bahwa bukan diciptakan secara main-main (QS.44:39). Adapun karakter alam selalu bergerak konstan menuntut manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk menyesuaikan dan menyeimbangkan, dalam konteks banjir manusia-lah yang semestinya bertanggung jawab melestarikan dan mengatur sedemikian rupa sehingga bumi tetap mampu menyerap debit hujan yang dikirim oleh langit. Bila terjadi langganan banjir, hal itu harus dipahami karena salah kelolah, bukan faktor cuaca semata. 
 
Kedua, amanah dalam memelihara pesona alam persada dengan cara melestarikan dan mematuhi sunnatullahnya, tidak merusaknya (QS.2:11) supaya bumi ini tetap menjadi tempat yang survive untuk anak cucu kita. Bumi merupakan satu-satunya planet yang cocok kembang biak anak cucu manusia secara turun temurun, meskipun ada ilmuwan menemukan secercah kehidupan di planet lain. Pasti, ongkos hidup di sana sangat mahal sekali. 
 
Konservasi alam dalam perspektif Islam sangat kental dengan ritual keagamaan, dimuat dalam berbagai literasi keagamaan. Misalnya, banyak dijumpai tema hadis tentang larangan membunuh hewan atau mencabut tumbuhan saat melaksanakan ibadah haji, larangan buang hajat di air tenang atau di bawah pohon rindang, memangkas pohon sedang berbuah dan masih banyak lagi tentang pelestarian lingkungan, namun terkadang karena kurang peka dengan makna esoteris, sehingga bentangan makna hadits menguap entah kemana.
 
Hak milik seutuhnya terhadap alam semesta ini adalah Tuhan. Eksistensi manusia di dunia adalah hak pakai, karena itu harus melakukan harmoni serta melestarikannya dengan penuh amanah dan tanggung jawab sebagai mandataris Tuhan di alam raya ini. Banjir, tanah longsor dan sejenisnya tidak lain adalah bagian sabda alam dan protes karena telah diperlakukan semena-mena, seperti penggundulan hutan, buruknya drainase, sempitnya lahan hijau, tata kota yang buruk dan sederet masalah penyerta lainnya. Oleh karena itu, demi keselamatan dan kenyamanan samapi ke anak cucu kita, wawasan lingkungan melalui perspektif teologis (eco-theology) seharus terus disuarakan.
 
 
Share:

Popular Posts

Labels

Recent Posts

Motto

  • Membaca
  • Mengamalkan
  • Mennulis
  • Menyebarkan